RingkasJurnal #1 – Melawan Lewat Refleksi: Praktik Dosen Muda Indonesia dalam Dunia Kampus yang Semakin Neoliberal

Dalam dunia kampus yang semakin dikejar target, indikator kinerja, dan tuntutan administratif, dua dosen dari Departemen Sosiologi FISIPOL UGM, Oki Rahadianto Sutopo dan Gregorius Ragil Wibawanto, menghadirkan sebuah narasi yang berbeda. Melalui publikasi mereka di Journal of Applied Youth Studies (JAYS), mereka menulis tentang bentuk-bentuk “perlawanan halus” yang dilakukan oleh para dosen muda di Indonesia dalam menghadapi tekanan universitas yang telah banyak berubah akibat pengaruh neoliberalisme.

Artikel berjudul “Reflexive Practice as a Form of Resistance Among Young Indonesian Academics in Neoliberal Times” ini bukan sekadar studi akademik. Ia adalah cerita tentang bagaimana dosen muda bertahan dengan idealismenya, menavigasi aturan yang ketat, dan menciptakan ruang bebas di tengah sistem yang semakin kaku.

FISIPOL UGM bangga atas capaian ini, karena karya ini sejalan dengan komitmen fakultas dalam menyuarakan pemikiran kritis, membela nilai-nilai kemanusiaan, dan memperjuangkan pendidikan sebagai ruang pembebasan. Karya ini juga menjadi kontribusi penting terhadap Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs), khususnya:

  • SDG 4: Pendidikan Berkualitas,

  • SDG 8: Pekerjaan Layak dan Pertumbuhan Ekonomi, dan

  • SDG 10: Mengurangi Ketimpangan.


Refleksi sebagai Perlawanan

Dalam artikelnya, Oki dan Ragil menjelaskan bahwa banyak dosen muda di Indonesia tidak pasrah pada sistem yang menuntut produktivitas serba cepat. Sebaliknya, mereka memilih untuk melakukan “refleksi” — berpikir ulang secara kritis terhadap posisi dan peran mereka, serta mencari cara untuk tetap menjalankan nilai-nilai akademik yang mereka yakini.

Mereka menggunakan strategi yang beragam:

  • Ada yang tetap mengikuti aturan, tapi diam-diam memodifikasi cara kerjanya agar lebih bermakna.

  • Ada pula yang menempuh jalan sendiri, membangun ruang belajar alternatif, komunitas riset independen, bahkan kegiatan pengabdian tanpa tergantung pada sistem poin dan administrasi berat.


Mengajar, Meneliti, dan Mengabdi: Semua dengan Cara Sendiri

Dalam proses mengajar, beberapa dosen muda mengembangkan “hidden curriculum”—konten pengajaran yang tidak tercantum di dokumen resmi, tetapi lebih relevan dengan realitas sosial mahasiswa. Mereka menggunakan film, diskusi santai, hingga cerita pribadi untuk membuat teori menjadi hidup.

Dalam riset, ada yang tetap menulis di jurnal internasional sebagai bentuk aktualisasi diri. Namun, ada juga yang memilih jalur konferensi komunitas, menerbitkan secara mandiri, atau fokus pada penelitian yang tidak populer tetapi lebih bermakna secara sosial.

Sementara dalam pengabdian, sebagian besar narasumber melihat masyarakat bukan sekadar sebagai target program, tetapi sebagai ruang keterlibatan jangka panjang. Mereka berjejaring dengan komunitas seni, aktivisme kota, dan kegiatan sosial yang benar-benar mereka percaya.


Membayangkan Masa Depan Akademisi Muda

Uniknya, refleksi ini tidak membuat mereka apatis. Justru sebaliknya. Banyak yang tetap punya mimpi besar: melanjutkan S3, menjadi profesor, mendirikan pusat riset, atau tetap konsisten menjalankan nilai akademik. Mereka sadar bahwa sistem mungkin tidak ideal, tetapi mereka percaya pada kekuatan individu untuk menciptakan perubahan dari dalam.

Sebagai penutup, penulis sampai pada kesimpulan bahwa dosen muda Indonesia bukan tidak peduli. Mereka hanya memilih cara yang lebih cerdas dan manusiawi dalam menjalankan tugasnya.

Artikel selengkapnya dapat dibaca di sini.