Selasa (27/10) sore, diskusi oleh Magister Administrasi Publik (MAP) Corner-Club kembali digelar. Diskusi rutin diadakan setiap minggu di pojok lobby MAP UGM. Kali ini, diskusi bertajuk RPP Pengupahan & Buruh Murah. Topik ini dipilih menanggapi isu Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) tentang pengupahan tenaga kerja yang menuai kontra dari kalangan tenaga kerja itu sendiri. Pada hari yang sama, sebelum diskusi terlaksana, rupanya RPP telah ditetapkan oleh pemerintah menjadi Peraturan Pemerintah (PP) No. 78 Tahun 2015 tentang Pengupahan.
Peraturan yang mengatur formula baru pengupahan tersebut merupakan bagian dari paket kebijakan ekonomi IV. Dalam pasal 44 PP Pengupahan, dijabarkan tentang penghitungan formula pengupahan yaitu upah minimum daerah tahun mendatang diperoleh dari upah minimum daerah tahun berlangsung ditambah hasil perkalian dari upah minimum daerah tahun berlangsung dengan inflasi plus nilai pertumbuhan ekonomi tahun berlangsung. Nilai pertumbuhan yang dijadikan acuan adalah nilai pertumbuhan nasional. Hal ini dinilai berpotensi menimbulkan ketidakadilan bagi daerah yang nilai pertumbuhan ekonominya lebih tinggi.
“Misalkan, suatu daerah mengalami pertumbuhan ekonomi hingga 10%, pada saat yang sama pertumbuhan nasional 4%. Buruh di sana lantas diberi upah sesuai penghitungan berdasarkan angka nasional yang 4% itu sementara kondisi perekonomian di daerahnya sedang tinggi,” ujar Prof. Ari Hermawan, Guru Besar Hukum Perburuhan UGM.
Kekhawatiran lain muncul lantaran peninjauan peraturan dilakukan setiap lima tahun sekali. Artinya, selama lima tahun sejak awal ditetapkannya, peraturan tersebut akan tetap digunakan sebagai patokan. Padahal perubahan ekonomi pasti terjadi setiap waktu. Hal itu diungkapkan oleh Restu Baskara dari Federasi Perjuangan Buruh Indonesia.
“Sebelumnya peninjauan dilakukan setiap tahun. Komponen Hidup Layak (KHL) yang terdiri dari 60 item ditinjau untuk kemudian dimusyawarahkan bersama oleh lembaga tripartit yaitu pemerintah, pengusaha, dan serikat kerja,” tutur Restu. Menurut Restu, kali ini dewan buruh tidak dilibatkan sejak perundingan hingga penetapan RPP menjadi PP Nomor 78 Tahun 2015.
Sementara itu, Kinardi (Aliansi Buruh Yogyakarta) mengamini pernyataan Restu. Menurutnya, tidak disertakannya pihak buruh dalam perundingan peraturan yang mengatur mereka, menihilkan posisi tawar buruh untuk mengadvokasi haknya. Lebih lanjut, ia menjelaskan bahwa hal tersebut bertentangan dengan UU No. 21 Tahun 2000 tentang Serikat Pekerja/Serikat Buruh, UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, dan Konvensi ILO (International Labor Organization) Nomor 189.
Kinardi mengatakan bahwa dalam undang-undang dan konvensi tersebut tercantum hak buruh atau pekerja atas perundingan bersama. “Yang terjadi saat ini menyalahi undang-undang dan mencederai demokrasi,” imbuhnya.
Bagaimanapun PP Pengupahan telah disahkan dan ditandangani oleh presiden. Terbitnya setiap produk peraturan tentu tidak lepas dari politik hukum. Politik hukum terdiri dari politik pembentukan hukum, politik penentuan hukum, dan politik penegakan hukum, dan ketiganya bersifat saling mempengaruhi. Dalam prosesnya, pemerintah tidak pernah bisa netral dalam hubungan industrial karena mereka pun memiliki kepentingan.
“Muncullah pula politik perburuhan. Upah buruh rendah, murah secara ekonomis, patuh secara politis. Jika buruh murah, investasi meningkat” terang Prof. Ari.
Kondisi demikian tidak semestinya terjadi. Pemerintah mestinya melindungi warga negara yang lemah, dalam kasus ini, kaum buruh yang upahnya belum layak. Selain karena upah itu sendiri merupakan unsur esensial dari perjanjian kerja, ada hal lebih besar yang sebenarnya mereka tuntut yaitu keadilan sosial. (A-OPRC)