Sosiologi sendiri awalnya menyerahkan proses pembelajaran daring ke tim pengajar, sementara prodi tidak memberikan kontrol sama sekali karena belum memiliki kesiapan dan pengalaman dalam mengelola pembelajaran daring. Namun, begitu memasuki semester berikutnya, dengan perencanaan yang lebih matang, program studi S1 Sosiologi memfasilitasi banyak hal: mulai dari SOP, hearing, dan evaluasi lanjutan. Hal yang serupa juga disampaikan oleh perwakilan departemen lainnya. Namun, yang membedakan antara satu prodi dengan prodi lainnya adalah karakter pendekatannya.
Manajemen Kebijakan Publik—melalui Indri Dwi Apriliyanti, misalnya, menyiapkan tutor sebagai tangan kanan dosen saat memasuki fase pembelajaran daring terarah. Selain membantu dosen, tutor juga bertugas untuk memastikan perkuliahan berjalan dengan sangat baik. Tentunya, para tutor sudah difasilitasi dengan pelatihan sebelumnya, dan bisa mendapatkan feedback evaluasi juga dari para mahasiswa.
Hal yang hampir serupa terjadi di Politik Pemerintahan, yang disampaikan Azifah R. Astrina. Namun, bukan tutor yang membantu dalam pengelolaan pembelajaran daring di sini, melainkan Tim Media DPP Polgov. Tim media ini mendapatkan pelatihan untuk membuat kurikulum konten pembelajaran—membagi konten per kluster sehingga satu konten dapat digunakan oleh beberapa mata kuliah. Uniknya, Politik Pemerintahan tetap mengundang pihak yang ahli di bidang pembuatan konten dengan tujuan konsep konten tidak membosankan, tetapi secara substansi tetap dipegang oleh prodi.
Lain cerita dengan Komunikasi dan Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan—yang disampaikan oleh Syaifa Tania dan Zita Wahyu Larasati—yang melakukan riset kecil-kecilan dan bertanya terlebih dahulu pada para mahasiswa terkait platform apa yang paling disukai. Kedua dosen dari dua departemen ini juga bercerita mengenai tugas mahasiswa yang dikembangkan sesuai kreativitas para mahasiswa, sehingga menghasilkan tugas dengan berbagai bentuk.
Tania sendiri menekankan salah satu poin positif dari adanya kuliah daring ini. Selain terkait dengan dokumentasi perkuliahan yang semakin mudah, seperti yang disampaikan Wahyu, kuliah praktisi pun menjadi berjalan dengan lebih lancar. Apalagi, Tania bercerita bahwa saat sebelum pandemi, para praktisi banyak yang belum terbiasa dengan menggunakan video conference—jika praktisi tidak dapat hadir ke Yogyakarta.
Berbeda lagi dengan yang disampaikan oleh Muhammad Rum, Dosen Departemen Hubungan Internasional, yang menyampaikan pengalamannya dari dua sudut pandang: pengalaman departemen dan pribadi. Rum juga banyak menampilkan contoh nyata dari pengalaman pribadinya, seperti penggunaan platform kuis, permainan, dan sebagainya.
Selain terkait kondisi pengelolaan pembelajaran daring, para narasumber juga bercerita mengenai kondisi komunikasi yang terjalin dengan para mahasiswa. Hal ini juga menjadi bentuk bahwa tiap departemen tidak melupakan pentingnya kesehatan mental para mahasiswanya. Tidak hanya itu, dosen-dosen lain yang ikut dalam sarasehan ini pun turut membagikan pengalamannya.
“Kalau experience yang berbeda-beda ini bisa dikolaborasikan—semua ide yang tadi disampaikan tiap departemen dikombinasikan menjadi satu model pembelajaran daring yang dimiliki FISIPOL, pasti akan menjadi sangat keren,” ungkap Wawan Mas’udi, Dekan FISIPOL UGM yang turut hadir dalam acara sarasehan. (/hfz)