Dengan mengusung tema Film Dokumenter dalam Pembentukan Persepsi Pemuda terhadap Isu Lingkungan, Youth Studies Centre (YouSure) mengadakan acara bertajuk Bincang Muda Spesial Screening. Acara yang mengambil tempat di ruang BG 101 ini diselenggarakan pada Kamis sore (16/4). Selain screening film, acara ini juga diisi dengan diskusi yang dipantik oleh Budi Irawanto, Ph.D (Dosen Ilmu Komunikasi).
Diawali dengan adegan pendarataan manusia di Bulan yang terekam dalam ekspedisi pesawat Apollo 8 pada 1968 dan kemunculan Planet Bumi yang berwarna biru menjadi pembuka dalam film yang berjudul Disruption. Film bergenre dokumenter ini, menceritakan tentang perubahan iklim yang diakibatkan oleh aktivitas manusia terutama dalam melakukan eksplorasi alam. Selain becerita, mengenai perubahan iklim film dokumenter ini menjabarkan bagaimana wacana perubahan iklim dari awal mula hingga saat ini secara kronologis. Dibuat pada 2014 film ini digarap oleh duo Kelly Nyks dan Jared P. Scott yang sekaligus sebagai sutradara.
“Film ini sebenarnya mencoba meyakinkan kepada audien bahwa dampak dari perubahan iklim atau yang tenar dengan sebutan climate change adalah nyata bukan fiksi” tutur Budi membuka diskusi sore itu. Selain itu, demi meyakinkan penonton bahwa perubahan iklim membawa dampak yang sangat signifikan, film ini menyajikan beberapa cuplikan pernyataan dari Yeb Sãno, salah satu delegasi Konferensi Perubahan Iklim di Warsawa 2013. Dalam cuplikan pernyataanya, ia menjelaskan bahwa dampak perubahan iklim mungkin tidak terasa di daerah Eropa atau Amerika, tetapi lebih terasa di daerah Pasifik seperti tempat tinggalnya di Filipina. Dalam cuplikan dokumentasi video itu, juga turut ditampilkan tragedi topan Haiyan yang terjadi pada November 2013 lalu turut menghancurkan beberapa daerah di Filipina dan meninggalkan banyak korban jiwa.
Kemudian, masih menurut Budi, film ini juga secara terbuka mencoba memberikan kritik tajam terhadap kebijakkan pemerintah Amerika yang terkesan mengabaikan isu perubahan iklim. “Dalam film tersebut, secara blak-blakan, film mencoba mengkritik rezim politik yang terkesan bermain mata dengan korporasi misalnya masalah pajak karbon (carbon tax)”, tutur pria yang juga menjabat sebagai Direktur Jogja-NETPAC Asian Film Festival (JAFF) ini.
Dengan gaya eksplanatoris film ini sebenarnya kaya akan pengetahuan terutama terkait perubahan iklim dan efek rumah kaca yang ditampilkan lewat serangkaian argumentasi-argumentasi dari para ilmuan, jurnalis dan juga aktivis lingkungan. Beberapa yang terlibat dalam membangun argumentasi tersebut seperti Dr. James Hansen sebagai ilmuan, sejarahwan seperti Dr. Naomi Orakes, Bill McKibben dan terakhir Naomi Klein. Para tokoh tersebut menyerukan pendapatnya bahwa salah satu akibat dari perubahan iklim saat ini adalah masifnya penggunaan bahan bakar fosil di dunia.
Sementara itu, menanggapi film tersebut, Dias Prasongko (JPP, 2011) mengungkapkan bahwa film tersebut sebenarnya jika dihadapkan dengan fenomena di Indonesia masih kurang tepat. Dias berpendapat, dalam konteks Indonesia masalah perubahan iklim sebenarnya harus juga dekat dengan masalah hutan dan pembalakkan liar di Indonesia.
Menutup diskusi, Budi mengungkapkan, salah satu kekurangan dari film ini adalah tidak disertakannya suara-suara orang biasa dalam film yang berdurasi 52 menit ini. “Sayangnya, film ini tidak menyertakan suara orang-orang biasa seperti para petani, nelayan dan pekerja-pekerja biasa yang secara langsung dan tidak langsung terkena dampak perubahan iklim”. (D-OPRC)