Rabu, (11/3) Korps Mahasiswa Politik dan Pemerintahan (KOMAP) mengadakan screening film dan diskusi “Samin vs Semen” dengan tema diskusi ‘Konflik kuasa negara dan masyarakat kendeng utara untuk menyelamatkan Rembang’ di ruang BG 101 FISIPOL UGM. Acaranya yang dimulai pukul 15.30 diawali dengan pemutaran film dokumenter “Samin vs Semen” kemudian dilanjutkan dengan sesi dikusi yang menghadirkan Dian Lestariningsih selaku Peneliti “Kewargaan Perempuan di Rembang” dari PolGov JPP, dan Angga selaku aktivis Gerakan Karst yang dimoderatori oleh Faiz Kasyfilham selaku Menteri Kajian Strategis KOMAP UGM.
Film dokumenter ini bercerita tentang perlawanan warga Kecamatan Gunem di Kabupaten Rembang terhadap pendirian pabrik Semen yang berdurasi 39 menit 26 detik. Film dokumenter ini juga menceritakan perlawanan penganut ajaran Samin di Kecamatan Sukolilo, Pati terhadap pabrik semen terbesar di Tanah Air yaitu Semen Gresik, dan Indocement Group. Film ini mengambil latar belakang di tiga Kabupaten, yaitu Kabupaten Pati dan Rembang, Jawa Tengah, serta di Kabupetan Tuban, Jawa Timur. Sepanjang pembuatan film ini, warga yang menjadi pro pabrik semen tidak ada satupun yang mau di ambil gambarnya.
Warga Samin yang biasa disebut Sedulur Sikep hidup di sepanjang pegunungan karst Kendeng, Pati, Jawa Tengah. Mayoritas warga di Pegunungan Kendeng menolak pada kehadiran pabrik semen. Aksi ini diprakarsai pengikuti Sedulur Sikep (Samin Surosentiko) yang telah memiliki sejarah panjang melawan kolonialisme Belanda di tanah Jawa sejak 1890. Mengapa mereka menolak penambangan karst di Jawa, karena sebagian besar karst pegunungan Kendeng telah menjadi sumber pengairan bagi pertanian produktif. “Silakan membangun pabrik semen di daerah yang karst-nya tidak berhubungan dengan lahan pertanian, dan di daerah yang harga semennya mahal, sehingga lebih dekat dan murah untuk konsumen,” kata Gunretno, tokoh Sedulur Sikep dari Pati. Gunarti, tokoh Sedulur Sikep lainnya menambahkan bahwa penolakannya terhadap pendirian pabrik semen karena takut kehilangan mata pencaharian, yaitu bertani.
Dian Lestariningsih mengungkapkan bahwa perlawanan yang dilakukan petani Rembang banyak dilakukan oleh kaum perempuan bahkan mereka melakukan aksi berkemah sejak Juni 2014. Hal ini menunjukkan bahwa perempuan pun bertransformasi dari kanca wingking menjadi lebih aktif di ranah publik dengan melakukan perlawanan juga negosiasi. Tampak pula adanya kesetaraan gender di mana perempuan yang juga sebagai istri tengah melakukan aksi perlawanannya maka para suami tidak keberatan menggantikan tugas para istri tersebut di rumah.
“Meski petani perempuan Rembang hanya tamatan SD tetapi pemahaman mereka tentang bumi dan tanah baik sekali. Ibu bumi harus dijaga. Bila ibu bumi dijarah maka rusaklah bumi, rusak pula perempuan,” pungkasnya.