Masyarakat Ekonomi ASEAN, yang secara resmi dimulai sejak tahun 2015, telah banyak membawa perubahan-perubahan dan adaptasi kebijakan di tingkat nasional dan regional. Lingkungan yang semakin kompetitif memaksa Indonesia untuk bersaing dalam Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) dan memanfaatkan potensinya secara maksimal, terutama dalam sektor jasa. Oleh karena itu, ASEAN Studies Center (ASC) Fakultas Ilmu Sosial dan Politik (Fisipol) UGM berkolaborasi dengan Kementrian Koordinator Bidang Perekonomian Republik Indonesia (Kemenko Perekonomian) dan Indonesia Service Dialogue (ISD) menyelenggarakan Diskusi Publik dan Diseminasi Masyarakat Ekonomi ASEAN pada Kamis (12/4). Tema yang diangkat adalah “Daya Tahan dan Inovasi Sektor Jasa Indonesia di Era Masyarakat Ekonomi ASEAN” acara ini dihadiri oleh lebih dari 150 peserta. Bertempat di Ruang Seminar Timur Fisipol UGM, acara tersebut berhasil menjaring kalangan mahasiswa, praktisi, ahli, dan utamanya kalangan pelaku usaha sebagai pesertanya.
Tujuan diselenggarakanya acara ini adalah sebagai forum untuk menentukan langkah startegis Indonesia dalam era MEA sekaligus sebagai ajang diseminasi peluang bagi para pelaku usaha dalam berbagai sektor, utamanya jasa dalam menggunakan kesempatan MEA sebesar-besarnya. “Sektor jasa memiliki potensi yang signifikan dalam kontribusinya terhadap perekonomian Indonesia. Namun, potensi ini belum dimaksimalkan sepenuhnya,” ungkap Netty Muharni, Asisten Deputi Kerjasama Ekonomi Regional dan Sub Regional Kementrian Koordinator Bidang Perekonomian Republik Indonesia sebagai ketua pelasana acara tersebut. Dalam diskusi publik dan diseminasi tersebut, turut pula mengundang tiga pembicara Devi Ariyani, Excecutive Director Indonesia Services Dialogue Council (ISD), Dr.Rizal Affandi Lukman, Deputi Bidang Kerjasama Internasional Kementrian Perekonomian Republik Indonesia, dan Prof.Catur Sugiyanto Guru Besar Ekonomi UGM/Atase Pertanian RI untuk Belgia.
Diskusi publik dan diseminasi ini diawali oleh pembicara pertama, yaitu Prof. Catur Sugiyantoro mengenai kontribusi sektor jasa sabagi katalisator perekonomian Indonesia dan ASEAN. Mekanisme liberalisasi perdagangan, kebebasan mobilitas pekerja dalam bidang-bidang tertentu menuntut Indonesia untuk lebih kompetitif. “Pekerjaan rumah terbesar yang masih harus diselesaikan oleh Indonesia dalam era MEA ini adalah persiapan bahasa, tenaga ahli, dan bisnis. Tenaga kerja Indonesia harus memanfaatkan potensi, kapasitas, dan pasar tenaga kerja yang tersedia dalam MEA,” tutur Prof.Catur. Menurutnya, memasuki era MEA pasar Indonesia akan kebanjiran tenaga kerja asing sehingga kesiapan para tenaga kerja Indonesia harus didorong. “Sistem manajemen gaji bisnis, juga menjadi hal yang penting untuk diperhatikan,” tambah Prof. Catur.
Selanjutnya pembicara kedua diisi oleh Devi Ariyani. Dalam sesi ini, ia menekankan pentingnya perkembangan Digital Economy dan posisi Indonsia di dalamnya. Sebagai salah satu negara dengan pengguna internet yang besar, yang termasuk pada jajaran pengguna media sosial terbesar di dunia, Indonesia memiliki banyak sekali potensi untuk dimanfaatkan dalam mendorong perekonomian di era MEA. “Teknologi blockchain dan bitcoin, Finctech, dan berbagai jasa online telah banyak mendominasi pola–pola digital economy saat ini. Seiring majunya teknologi sudah saatnya kita ikut embracing teknologi dan upgrade kemampuan kita dalam mengadopsinya,” tutur Devi. Menurutnya, penting bagi Indonesia untuk memperkenalkan teknologi sedini mungkin, contohnya memasukkan pelajaran secara praktikal mengenai teknologi dalam kurikulum. “Teknologi memang akan banyak menghilangkan pekerjaan, namun juga memunculkan banyak pekerjaan baru. Itulah peluang kita untuk maju,” tutur Devi.
Pembicara terakhir, yaitu Dr.Rizal Affandi Lukman dalam sesinya menyinggung berbagai perkembangan, peluang, dan tantangan menuju visi MEA 2025. Ia menekankan mengenai bonus demografi Indonesia yang harus dimanfaatkan dengan baik sebagai kesempatan emas yang tidak akan muncul dua kali. “Pemerintah telah berusaha untuk meningkatkan kapasitas sumber daya manusia di Indonesia, contohnya melalui program vocational training. Harapanya pemuda-pemuda Indonesia dapat memiliki daya saing yang lebih unggul dalam era MEA yang telah berlangsung saat ini,” jelas Rizal. Rizal berpendapat bahwa dalam memfasilitasi sektor perdagangan dan jasa, Indonesia masih terlalu banyak memiliki regulasi yang kompleks dan birokrasi yang kurang efektif. “Salah satu kuncinya yaitu mensimplifikasi regulasi, utamanya dalam bidang jasa agar para pelaku sektor tersebut memiliki gairah untuk maju dan tidak terhambat oleh lilitan regulasi,” ungkapnya. (/fdr)