Yogyakarta, 20 Juni 2024─Pembangunan Rempang Eco-City sebagai salah satu Proyek Strategis Nasional (PSN) memunculkan konflik yang tak kunjung usai. Pasalnya, pembangunan ini dinilai tidak melibatkan masyarakat dan terkesan terburu-buru.
Sebagai upaya mediasi konflik dan manifestasi TPB ke-16 tentang perdamaian, keadilan, dan kelembagaan yang tangguh, Magister Departemen Manajemen Kebijakan Publik Fisipol UGM mengadakan Publicness Forum #2. Acara bertajuk “Dialog Inklusif: Ruang Manajemen Konflik Rempang Eco City” ini membuka ruang diskusi secara daring untuk membedah hambatan pembangunan dan menemukan alternatif penyelesaian konflik.
Harlas Buana, selaku perwakilan BP Batam menyampaikan bahwa penyebab awal konflik adalah misinformasi. “Banyak misinformasi seolah-olah kami akan melakukan pengambilan paksa, lalu kami perbaiki komunikasi dengan lebih humanis, kalau masih ada pergolakan ya itu dinamika,” ujarnya.
Disisi lain, Perwakilan WALHI, Even Sembiring, menyampaikan fakta dilapangan yang menunjukkan adanya penggusuran dan represi. Ia bahkan menyebut proses penggusuran ini sebagai kejahatan sistematis yang dilakukan oleh negara. Sebab, terjadi perampasan hak atas tanah, sosialisasi dan informasi yang tidak lengkap, serta represi baik secara langsung dengan kekuatan aparat maupun tidak langsung dengan memutus berbagai akses kebutuhan masyarakat.
Hal ini didukung dengan temuan-temuan Ombudsman RI yang menyatakan bahwa terdapat represi oleh aparat. Represi ini kemudian justru memunculkan ketidakpercayaan masyarakat kepada pemerintah. Selain itu, regulasi dan informasi masih belum jelas dan lengkap disampaikan ke masyarakat sehingga menambah ketegangan. Siti Uswatun Hasanah, perwakilan Ombudsman RI menilai bahwa proyek ini rasanya dijalankan tergesa-gesa. “Dalam jangka waktu 3 bulan, sekian banyak produk (administrasi, regulasi) keluar, padahal proses penyusunan produk di negara ini tidak mudah karena harus memerhatikan banyak kepentingan,” tuturnya.
LHKP PP Muhammadiyah, Wahyu Perdana juga menyampaikan hal serupa. Menurutnya ada dua hal yang perlu diperhatikan, yaitu regulasi dan pendekatan kepada masyarakat. Ia mengatakan bahwa dengan istilah PSN, negara mampu mengerahkan kekuatan yang besar untuk memenuhi kepentingan nasional. “Regulasinya memungkinkan paksa, akhirnya pendekatannya sering kali hanya dikatakan sosialisasi, pertanyaannya, sosialisasinya meaningful tidak?” ujarnya.
Sahat Siantri, selaku perwakilan DPRD Kepri juga menyayangkan ketidakjelasan informasi yang disampaikan kepada masyarakat. Selain itu, ia juga menyadari bahwa adanya koordinasi dan perencanaan yang tidak matang.
Diskusi kemudian bergulir panas setelah Warga Rempang yang hadir juga menyampaikan pendapatnya. Mereka tidak setuju dengan adanya relokasi. Selain itu, mereka juga meminta adanya transparansi data terkait dengan warga yang direlokasi. Sayangnya, berkali-kali dimintakan dalam forum diskusi, masyarakat tetap hanya mendapatkan pertanyaan lisan tanpa ada data yang ditampilkan.
Dengan adanya diskusi ini, diharapkan kedepannya ada penyelesaian konkret khususnya terkait dengan keterbukaan informasi serta kejelasan dan komunikasi kebijakan. (/wn)