Yogyakarta, 19 September 2024─Menanggapi serangkaian tindakan pemerintah yang dinilai menyelewengkan demokrasi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (Fisipol) UGM menginisiasi gerakan warga kampus dalam Seminar Nasional Dies Natalis Fisipol ke-69. Acara ini digelar pada Kamis (19/9) dengan tema “Gerakan Politik Kewargaan Kampus untuk Merespons Regresi Demokrasi, Disrupsi Digital, dan Krisis Ekologi”. Dialog regresi demokrasi kali ini membahas tiga topik penting bersama pembicara dari kalangan pakar, politisi, dan akademisi.
Gambaran kemunduran demokrasi tidak hanya terletak pada kecenderungan elitisme dan sentralisme proses demokrasi saja. Prof. dr. Ova Emilia, M.Med.Ed., Sp.OG(K)., Rektor UGM mengutarakan keprihatinannya terhadap minimnya ruang publik untuk bergerak di dalam demokrasi saat ini. “Kemajuan teknologi memberikan akses luas bagi praktik partisipasi masyarakat. Namun keterbukaan tersebut harus selaras dengan prinsip dan komitmen untuk menjaga moral demokrasi,” ujar Prof. Ova.
Penyimpangan demokrasi yang terjadi diperparah dengan adanya perkembangan digital menjadikan masyarakat sebagai korban utama. Gejolak kondisi ekonomi, minimnya ketersediaan lapangan kerja, polarisasi politik, sampai masifnya penyebaran hoaks memberikan dampak besar bagi kehidupan masyarakat. Prof. Ova menambahkan, kampus harusnya bisa menjadi katalisator dalam menyelesaikan masalah publik bersama pemerintah. Sayangnya, regresi demokrasi justru menjadi penghambat utama dalam mewujudkan kerja sama tersebut.
“Kita sedang berada di era di mana demokratisasi berjalan, namun sangat nominal, sangat prosedural. Karena itu kita perlu mengembalikan aspek-aspek substansial, perlu memastikan bahwa demokrasi memberikan kemanfaatan dan kesejahteraan untuk kita,” tutur Dekan Fisipol UGM, Wawan Mas’udi, S.IP., MPA, Ph.D. dalam sambutannya. Situasi demokrasi terkini yang semakin memprihatinkan mengharuskan kampus untuk bergerak. Bagaimana kampus merespons fenomena yang terjadi akan sangat menentukan nasib kesejahteraan masyarakat.
Dalam diskusi ini, tiga pembicara yang turut hadir memberikan sudut pandangnya memproses fenomena regresi demokrasi. Dr. Rieke Diah Pitaloka, S.S., M.Hum yang saat ini menjabat sebagai anggota DPR RI menyorot bagaimana pemerintah menciptakan krisis demokrasi melalui sistem. Ia menyebutnya sebagai “Banalitas Kejahatan” di antara para pemangku kekuasaan. Istilah ini merujuk pada sebuah kejahatan yang diciptakan oleh sistem dan mengaburkan antara kebenaran dan kejahatan.
“Kejahatan ini bukan lahir dari kelompok orang-orang dengan level ekonomi, sosial, dan pendidikan yang rendah. Ada sebuah proses berpikir yang terlupakan, proses yang memisahkan antara kebenaran dan keburukan,” tegas Rike. Fenomena dalam banalitas menunjukkan adanya hubungan antara pelaku (aktor) kekerasan dengan sistem. Pelaku akan cenderung melewati proses berpikir hati nurani. Selanjutnya, pelaku akan menganggap kejahatan adalah hal biasa dan melakukannya terus menerus.
Sangat disayangkan bahwa banalitas kejahatan yang disebut Rike terjadi di pemerintahan saat ini. Sampai akhirnya prinsip demokrasi berubah menjadi prosedural tanpa adanya pemaknaan akan nilai-nilai demokrasi sesungguhnya. Disampaikan oleh Pakar Hukum tata Negara, Bivitri Susanti, demokrasi saat ini layaknya seperti “cangkang kosong”. Fitrah sebuah negara itu dibentuk oleh warga yang menaruh amanah pada penguasa. Proses demokrasi akan berjalan ketika masyarakat memiliki kekuatan untuk berpartisipasi.
“Regresi demokrasi itu terjadi ketika demokrasi dibawa mundur, tapi kita kelihatan happy aja karena merasa puas dengan adanya prosedur yang diperlihatkan. Padahal orang-orang yang terpilih secara demokratis itulah yang dia secara aktif menghancurkan demokrasi,” pungkas Bivitri. Tindakan ini memunculkan legalitas otokratik di mana semua tindakan dilabelkan sebagai sesuatu yang “legal”. Padahal secara norma sangatlah melanggar prinsip demokrasi.
Sejalan dengan itu, Sosiolog sekaligus Wakil Rektor UGM, Arie Sujito, S.Sos., M.Si. kembali menegaskan kampus UGM memiliki tanggung jawab moral dan historis dalam pembangunan bangsa. Program pengabdian masyarakat yang dilakukan UGM ditujukan untuk membentuk karakter mahasiswa agar terhubung dengan masyarakat. Kampus harus bisa membimbing dan mencetak generasi yang tidak apatis terhadap kondisi dan situasi nasional. “Perguruan tinggi saya kira memiliki tantangan sendiri dan tanggung jawab untuk mengawal akademisi kita dalam menyelesaikan problematika nasional,” tutupnya.
Seminar yang dihadiri oleh lebih dari 200 peserta ini diharapkan dapat mengobarkan kembali semangat kampus dan masyarakat untuk membina demokrasi. Dalam hal ini, sekaligus menjadi kontribusi Fisipol UGM guna mewujudkan Sustainable Development Goals (SDGs) ke-4, yakni Pendidikan Berkualitas. (/tsy)