Bhima memulai dengan menjelaskan konsep revolusi industri 4.0 secara keseluruhan. “Wacana revolusi industri 4.0 menjadi booming setelah digaungkan dalam World Economic Forum di Davos,” ungkap Bhima. Revolusi industri 4.0 oleh Bhima dipandang sebagai proses transisi resource based economy ke knowledge based economy. Knowledge based economy dalam industri 4.0 ditandai dengan karakteristik penggunaan digital berupa Artificial Intelegence ( AI), Virtual Reality (AI), dan Analisis Big Data. “Terdapat lima fokus utama dalam penguatan sektor utama revolusi industri 4.0, yaitu bidang makanan dan minuman, tekstil dan busana, otomotif, elektornik, dan kimia menurut data dari kementrian perindustrian,” ungkap Bhima. Dari kelima fokus tersebut, proses digitalisasi dengan menggunakan Cyber Physical System, AI, VR, dan analisis Big Data dalam proses produksi, konsumsi, dan distribusi dan marketing menggunakan fitur- fitur tersebut.
“Implementasi revolusi industri 4.0 yang dapat dibayangkan, bagaimana satu perusahaan dapat dikontrol hanya oleh satu orang,” tambah Bima. Ia menganalogikan kaitanya dalam industri tekstil, dimana automatisasi memberikan ruang bergerak secara luas kepada teknologi untuk mengerjakan secara lebih efektif, efisien, dan tuntas. “Proses supply chain sektor tekstil dapat dikontrol dengan mudah pada saat mesin jahit yang secara otomatis tersambung kedalam cyber-physical system, proses produksi dan kontrol kualitas menggunakan AI, dan distribusi serta pemasaran menggunakan analisis big data, dapat dilihat penggunaan tenaga manusia hanya sebagai supervisor keseluruhan,” tambah Bhima.
Namun sebelum sampai kesana, Bhima menekankan masih banyak pekerjaan rumah yang harus diselesaikan oleh Indonesia khususnya dalam mendorong industrialisasi yang lebih kuat dan matang dalam meraih tujuan pembangunan ke arah industri 4.0. Bagi Bhima, Korea Selatan dan Indonesia memulai start dari jalan yang sama. Namun melihat Korea Selatan saat ini, ia sukses menjadi negara industrialisasi yang telah meningkatkan industri besarnya ke arah digital. “Sayangnya Indonesia terpengaruh pada dutch disease, Indonesia selalu membanggakan diri atas kekayaan sumber daya alamnya, namun lupa untuk membangun Industrialisasinya,” jelas Bhima. Hal tersebut diungkapkan Bhima bukan tanpa alasan. Proyeksi pertumbuhan ekonomi oleh IMF World Economic Outlook per April 2018 Indonesia masih sangat tertinggal dari Filipina, Tiongkok, India, bahkan Vietnam dimana Indonesia berada di posisi terakhir dari empat negara tersebut.
Dengan presentase dari trejaktori pertumbuhan ekonomi Indonesia, dapat diperkirakan bahwa Indonesia baru akan keluar dari middle income trap di tahun 2042 dengan posisi pertumbuhan ekonomi selama 5%. Namun hasil yang berbeda akan terjadi apabila Indonesia mampu memaksimalkan pertumbuhan ekonomi sebesar 10%, Indonesia akan bertransformasi menjadi high income countries di tahun 2030. Tapi sayanganya dari proyeksi tersebut, tren pertumbuhan ekonomi dan industri Indonesia malah cenderung melambat. Menurut Bhima Industri belum menjadi sorotan yang dipikirkan secara serius. Saat ini, yang menjadi motor pertumbuhan ekonnomi Indonesia berada dalam tiga bidang utama yaitu transportasi, perdagangan, dan jasa kemasyarakatan. Walaupun begitu tiga bidang tersebut juga didorong oleh e-commerce, dan dana desa yang diberikan oleh pemerintah.
“Masih banyak pekerjaan rumah Indonesia dalam menciptakan lingkungan yang kondusif untuk mencapai arah industri 4.0 yang sesungguhnya,” tambah Bhima. Tiga diantaranya yaitu, lingkungan infrastruktur yang kurang memadai, daya saing dan inovasi yang masih kurang, dan perkembangan teknologi yang harusnya lebih inklusif.
Dari beberapa pekerjaan rumah tersebut, menurut Bhima salah satu hal yang dapat didorong dalam ranah akademisi yaitu dalam bidang belanja riset. “Riset yang dihasilkan oleh universitas menjadi penting ketika riset tersebut memiliki karakter yang lebih praktikal,” jelas Bhima. Menurutnya untuk mencapai industri 4.0 diperlukan sinergi pertumbuhan riset akademik yang cepat pula. Selain itu Bhima melihat mahasiswa dapat mendorong percepatan lingkungan yang dapat mendukung industri 4.0 salah satunya dengan aktivisme yang dilakukan untuk membuat start up berkembang, lebih inklusif, dan mengkritisi kebijakan yang diimplementasikan oleh pemerintah dalam rangka mendorong industri 4.0.(/fdr)