Abdul Gaffar Karim
Penulis adalah Dosen Fisipol UGM
Semua Presiden Republik Indonesia pernah sibuk dengan urusan resuffle kabinetnya. Slelau ada semacam masa probation (percobaan) bagi para menteri selama kira-kira satu tahun pertama masa pemerintahan seorang Presiden RI. Jika seorang menteri berkelakuan bagus dalam masa percobaan itu , dia lanjut. Jika tidak, dia tukar kursi dengan menteri lain, atau malah hengkang dari kabinet. Selalu begitu berulang-ulang.
Pertanyaannya: siapa sebenarnya yang butuh reshuffle kabinet di Indonesia?
Mungkin memang ada kebutuhan objektif untuk melakukan reshuffle. Pembentukan kabinet selalu penuh dengan tekanan pada presiden. Sehingga dia tidak cukup jenak menyaring orang. Tak mudah bagi siapapun yang jadi Presiden RI untuk membentuk kabinet yang menyenangkan semua orang. Dia harus hati-hati menimbang aspek parpol -nonparpol, kepuasan partai pendukung, hingga urusan keterwakilan geografis, demografis dan jender. Tak heran jika Presiden RI selalu terperangkap di kabinet yang gendut dan berisi banyak orang yang belum tentu loyal dan kompeten. Reshuffle adalah pintu darurat di jalan ada masalah.
Artinya, mungkin memang Presiden Joko Widodo (Jokowi) butuh reshuffle untuk menyingkirkan menteri-menteri tak loyal dan /atau tak kapabel . Bagi seorang presiden, seringkali loyalitas menteri lebih penting daripada kapabilitasnya. Publik dengan mudah bisa menunjuk mana-mana saja menteri di kabinet yang sebenarnya tidak loyal pada presiden , bahkan sempat menentang pencalonan Jokowi sebagai presiden.
Tapi jika hanya Presiden RI yang berkepentingan atas reshuffle , tentu mudah. Dia punya hak prerogatif untuk itu. Masalahnya reshuffle menjadi perbincangan publik justru karena bukan hanya Presiden RI yang berkepentingan terhadapnya. Ada beberapa pihak yang kepentingannya justru menjadi penyebab utama kehebohan isu reshuffle secara berulang.
Pertama adalah orang-orang yang bernafsu besar untuk masuk kabinet. Tak cuma politisi , intelektual dan aktivis pun tak kalah hebat nafsunya pada jabatan menteri. Usai pengumuman kabinet, selalu ada politisi, intelektual dan aktivis yang kecewa karena namanya tak disebut-sebut oleh presiden. Saya tahu persis ada beberapa kolega yang sudah menyiapkan baju putih menjelang pengumuman kabinet Jokowi tahun lalu, untuk berjaga-jaga andai dia dipanggil. Ada yang bahkan standby di Jakarta di hari pengumuman kabinet. tentu, sambil panas-dingin berharap-harap cemas. Media massa jelas memberitakan beberapa politisi parpol yang kecewa karena namanya tak masuk. Orang-orang seperti ini sangat menunggu reshuffle dilakukan oleh presiden. Bahasan tentang bongkar-pasang kabinet memberi mereka harapan baru , seperti adzan Ashar yang menandakan bahwa buka puasa sudah tak lama lagi.
Kedua adalah DPR, khususnya (meski bukan hanya) dari partai pengusung Jokowi. DPR kita cenderung butuh tema mudah untuk menunjukkan jeleknya kinerja eksekutif. Politisi di lembaga legislatif ini tak akan menyia-nyiakan isu reshuffle begitu saja. Menyimpang dari prinsip ‘asli’ presidensialisme , lembaga legislatif kita dimanjakan dengan akses langsung pada para menteri. Alih-alih berurusan dengan presiden dalam kerangka checks and balances, legislatif kita berpeluang cawe-cawe di level kementrian. Itu sebabnya legislatif kita selalu gatal tangan ingin terlibat dalam penentuan jabatan di kabinet dan kementrian. Mereka ingin turut menentukan dengan siapa mereka berurusan, terkait dengan kebijakan dan alokasi anggaran.
Ketiga adalah rakyat yang butuh merasa dekat dan turut berperdan dalam proses politik. Pemilu dan pilpres hanyalah separuh urusan demokrasi. separuh lainnya adalah partsipasi masyrakat dalam penyelenggaraan pemerintahan. Masalahnya, kadang partisipasi masyarakat adalah perpanjangan saja dari tarik -menarik kepentingan saat Pemilu atau pilpres. dengan kemenangan yang tipis saat pilpres , Jokowi punya cukup stok orang yang tak menyukainya, dan tak menyukai orang-orang di kabinetnya. Jika mustahil menuntut Jokowi turun , maka para penentang ini bisa memperolah kenikmatan politik dengan menuntut digantinya menteri tertentu. Sementara itu, para pendukung Jokowi butuh reshuffle untuk mensterilkan presiden dari tudingan. Jika kinerja pemerintahan jelak, lebih baik ada menteri yang bisa dijadikan kambing hitam ketimbang nama Jokowi yang tercoreng. Itu sebabnya kalangan yang pro dan kontra (lovers and haters) Jokowi sama-sama menikmati kabar reshuffle.
Adanya tiga kalangan ini menyebabkan media massa dan media sosial tak akan kekurangan peminat terhadap isu pergantian menteri. Tapi jika tak hati-hati , kita semua bisa terjebak pada kehebohan yang tak perlu, ketika berbicara tentang reshuffle tersebut. (dilansir dari surat kabar Kedaulatn Rakyat, Senin 13/7/2015, halaman 1)