Yogyakarta, 12 April 2022─Departemen Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan (PSdK), FISIPOL, UGM menggelar Simposium Magister 2022 secara daring pada 11-12 April 2022. Pada sesi ketiga simposium, dosen PSdK Nurhadi menjadi moderator yang memandu jalannya diskusi bersama pembicara utama Kelly Hall dari Universitas Birmingham, Inggris.
Kelly menjelaskan tentang gambaran umum serta hasil penelitiannya mengenai perusahaan sosial (social enterprise) di Inggris dalam diskusi bertajuk “Social Enterprise: An Organisational Model Promote Health and Social Care”. Menurut Kelly, social enterprise merupakan perusahaan yang menjalankan kegiatan usaha untuk mengatasi permasalahan sosial serta meningkatkan dan memberdayakan komunitas, taraf hidup, maupun lingkungan. Ia menambahkan, misi sosial berperan penting dalam menjalankan social enterprise. Meski demikian, Kelly menekankan bahwa social enterprise berbeda dari organisasi amal yang hanya menjalankan kegiatannya melalui donasi.
“Social enterprises harus melakukan perniagaan dan menginvestasikan keuntungan mereka kembali kepada misi sosial,” tutur dosen di Department of Social Policy, Sociology and Criminology, Universitas Birmingham ini.
Setelah sepuluh tahun meneliti social enterprise dalam bidang kesehatan dan keperawatan atau kepedulian sosial (health and social care), Kelly menemukan bahwa social enterprise bidang keperawatan atau kepedulian (care) agak sulit didefinisikan, karena luasnya cakupan bidang ini. Kegiatan usahanya juga beragam, mulai dari layanan klinik kesehatan, home care, pengasuhan bayi (day care) dan lain-lain. Ia mencontohkan kegiatan yang dijalankan oleh social enterprise, misalnya mengajak penyandang disabilitas untuk berkebun, memberikan keterampilan bagi anak-anak muda, kegiatan olah raga, dan sebagainya.
“Saya menemukan bahwa perusahaan sosial sering kali membentuk banyak layanan keperawatan yang beragam,” jelas perempuan bergelar Doctor of Philosophy ini.
Berdasarkan hasil risetnya, Kelly menemukan sejumlah tantangan bagi social enterprise. Kebanyakan dari para penggerak social enterprise kurang pengetahuan tentang menjalankan bisnis, karena latar belakang mereka yang bukan pebisnis. Misalnya, pendiri social enterprise kesehatan yang merupakan dokter dan perawat. Selain itu, publik masih banyak mengira bahwa social enterprise adalah perusahaan swasta. Padahal, social enterprise (khususnya bidang kesehatan di Inggris) juga mendapatkan pendanaan dari pemerintah, terutama dukungan finansial dari otoritas lokal. Sayangnya, tidak semua otoritas lokal di Inggris memahami peran social enterprise di masyarakat. Oleh karena itu, persebaran jumlah social enterprise di beberapa wilayah negara Inggris sangat beragam, tergantung dari dukungan warga dan pemerintah di masing-masing wilayah.
“Apa saja tantangan yang dihadapi social enterprise di Inggris Raya selama masa pandemi Covid-19?” tanya Indri Tedja Tyasning, salah satu peserta simposium.
Pertanyaan serupa juga diajukan oleh beberapa peserta lainnya. Kelly menerangkan bahwa selama pandemi Covid-19, layanan social enterprise khususnya bidang keperawatan (care) berubah menjadi daring (online). Perubahan tersebut ternyata dapat menambah pengguna layanan karena tidak lagi terbatas pada wilayah. Meski demikian, Kelly menambahkan, social enterprise di Inggris beradaptasi dengan cara yang berbeda-beda, tapi umumnya mereka membantu para keluarga yang membutuhkan dukungan tertentu selama pandemi. (/NIF)