Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) memperkirakan pengguna internet di Indonesia pada tahun 2017 ini mencapai 132,7 juta orang. Angka tersebut terhitung cukup tinggi jika disandingkan dengan jumlah populasi Indonesia yang mencapai 262 juta jiwa. Artinya, dapat disimpulkan bahwa separuh dari populasi penduduk Indonesia sudah melek teknologi. Kedepannya, tidak bisa dipungkiri, setiap penduduk Indonesia bahkan dunia akan terhubung dengan jaringan internet. Hal ini didasari atas revolusi teknologi yang begitu cepat merambah hampir seluruh kehidupan manusia. Keadaan ini tentu akan membawa perubahan yang besar di dalam tatanan masyarakat. Oleh karena itu, dibutuhkan mitigasi resiko dan tata kelola yang tepat guna mencegah perubahan ke arah negatif.
Melalui diskusi panel yang bertajuk “Tata kelola Internet dalam Keranjang Sosial Budaya, Ekonomi, dan Hukum Regulasi” Departemen Politik Pemerintahan mencoba untuk mengulas persoalan tersebut. Diskusi yang merupakan rangkaian acara Polgov Days ini menghadirkan Dony Budhi Utoyo selaku Direktur Eksekutif Information, Communication, and Technology (ICT) Watch dan tenaga ahli Kominfo Republik Indonesia sebagai pembicara. Selain itu, pada kesempatan ini juga dihadiri oleh Arfi Bambani Amri selaku Chief Content Officer Selasar dan Sekretariat Jendral Aliansi Jurnalis Independen (AJI).
Dalam pemaparannya, Budhi mengungkapkan bahwa Indonesia harus siap dengan serbuan teknologi yang ada. “World bank sudah wanti-wanti yang bidang teknologi, kalau Indonesia, kalau kita negara tidak siap dengan distraktif teknologi maka yang terjadi adalah informasi yang diumbar sana sini, makanya perlu policy,” ungkapnya. Salah satu yang paling ketara dari distraktif teknologi adalah muncul industri kebencian dan radikalisme di internet.
“Ada ibu-ibu tanya kalau adzan mesti harus terdengar ya, eh langsung ada ibu-ibu yang maki-maki muazin, disuruh berhenti. Disebar kebenciannya. Radikaliseme internet yang lintas batas, ada juga anak kecil Indonesia yang terekrut ISIS dan tewas. Bagaimana ISIS melakukan perekrutan hingga targetnya Indonesia, ya lewat internet,” papar Budhi.
Oleh karena itu, sangat dibutuhkan cyber security untuk mencegah adanya disrupsi teknologi. Budhi mengungkapkan bahwa untuk mencapai cyber security harus melalui multi-stakeholder approach. Pendekatan yang melibatkan banyak kelompok maupun individu seperti private sector, civil society, technical community, academia, dan governments. Dimana seluruh stakeholder akan bekerja pada pijakan yang sama.
Arfi menambahkan dalam menghadapi disrupsi teknologi perlu adanya hukum regulasi yang tepat dan tegas. Hal ini dikarenakan disrupsi teknologi sangat berkaitan dengan pelanggaran etika yang ada. “Etika adalah basis dari hukum, jadi sebuah pelanggaran hukum sudah pasti adalah pelanggaran etika, tapi tidak semua pelanggaran etika adalah pelanggaran hukum. Itu menunjukkan etika adalah basis dari hukum,” jelasnya.
Persoalan privasi misalnya, jika semua terkomputerisasi akan sulit membentengi privasi kita. Arfi mengungkapkan bahwa persoalan tersebut adalah isu yang santer dibicarakan oleh aktivis-aktivis kebebasan berekspresi. Banyak pengguna internet yang tidak bisa memilah mana wilayah privasi dan mana wilayah publik. Pada akhirnya persoalan ini akan berujung pada bullying yang banyak terjadi di media sosial.
“Media sekarang misalnya yang sering menjadikan status seseorang menjadi bahan berita. Bayangkan sekelas media saja seperti itu apalagi warga negara biasa. Ini juga mengarah ke bullying, itu sebenarnya hal-hal privasi yang diungkapkan orang lalu dijadikan bahan untuk membully orang tersebut,” ungkapnya. Oleh karena itu, sangat dibutuhkan hukum regulasi yang tepat untuk menangani persoalan tersebut. (/ran)