Sovereign AI Fund dan Tantangan Regulasi, CfDS UGM Gelar Diskusi Hasil Riset untuk Siapkan Fondasi Investasi AI Indonesia

Yogyakarta, 15 Oktober 2025─Artificial Intelligence (AI) kini menjadi topik hangat yang tak hanya dibicarakan di ruang akademik, tetapi juga di industri dan kebijakan publik. Melalui DIFUSSION (Digital Future Discussion) #128 bertajuk “Indonesia’s AI Trajectory: From Hype to Investment Challenges”, Center for Digital Society (CfDS) UGM menelusuri perjalanan AI di Indonesia, mulai dari euforia teknologi hingga tantangan nyata dalam membangun ekosistem yang berkelanjutan dan berpihak pada kepentingan nasional.

Diskusi ini menghadirkan dua pembicara muda dari CfDS, yaitu Hosea Immanuel dan Mahardi Nalendra Syafa, dengan Balanca Qolta sebagai moderator. Ketiganya membedah fenomena AI di Indonesia yang memunculkan tantangan nyata terkait investasi pengembangannya agar berjalan secara berdaulat, inklusif, dan berkelanjutan.

Dalam pemaparannya, Hosea Immanuel menyoroti rencana pemerintah Indonesia untuk membentuk Sovereign AI Fund, yaitu instrumen pembiayaan nasional yang dirancang untuk mendukung pengembangan kecerdasan artifisial dan mempercepat pertumbuhan pasar digital di kawasan regional. Menurutnya, inisiatif ini berpotensi menjadi motor penggerak utama dalam membangun ekosistem AI yang berdaulat dan berdaya saing. Namun, Hosea juga mengingatkan bahwa rencana tersebut masih menghadapi sejumlah tantangan mendasar.

“Berdasarkan hasil analisis CfDS, terdapat dua isu utama yang perlu mendapat perhatian. Pertama ketiadaan kerangka regulasi hukum yang mampu mengakomodasi tentang rencana tersebut. Kedua, ketidakjelasan perencanaan konseptual maupun operasional”, ungkap Hosea.

Hingga kini, Indonesia belum memiliki regulasi hukum yang secara spesifik mengatur mekanisme pendirian dan tata kelola sovereign fund untuk sektor teknologi digital dan AI. Tanpa adanya landasan hukum yang bersifat mengikat (legal-binding), maka Sovereign AI Fund berisiko tidak memiliki legitimasi hukum yang kuat sehingga praktik tata kelola menjadi rentan atau lemah.

Tantangan lainnya terletak pada perencanaan yang belum matang, mulai dari sumber pendanaan, skema pembiayaan, hingga mekanisme dan proyeksi pengembalian investasi. Ketiadaan peta jalan yang jelas berpotensi menjadikan Sovereign AI Fund sebagai instrumen yang kurang tangguh dalam hal ketahanan dan keberlanjutan pembiayaan.

Hosea menegaskan bahwa tanpa kerangka regulasi dan perencanaan yang kuat, inisiatif Sovereign AI Fund bisa kehilangan arah. “Kita perlu memastikan bahwa fondasi kebijakan dan tata kelolanya kokoh agar investasi AI tidak hanya bersifat simbolik, tetapi benar-benar berdampak bagi kemandirian digital Indonesia,” ujarnya.

Melalui DIFUSSION #128, CfDS UGM berupaya membuka ruang dialog berbasis riset untuk memperkuat arah kebijakan dan strategi investasi AI di Indonesia. Diskusi ini tidak hanya menyoroti peluang ekonomi dari teknologi kecerdasan buatan, tetapi juga menegaskan pentingnya fondasi regulasi dan tata kelola yang kokoh agar implementasinya berjalan secara inklusif dan berkelanjutan sebagaimana yang menjadi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs) nomor 9: Industri, Inovasi, dan Infrastruktur. (/noor)