Studi dan Profesi Analis Kebijakan Publik di Indonesia Harus Terus Dioptimalkan

Yogyakarta, 1 September 2020—Departemen Manajemen dan Kebijakan Publik (DMKP) Fisipol UGM menyelenggarakan Webinar Policy Analysis Forum yang mengangkat topik Perkembangan Analisis Kebijakan Publik di Indonesia (31/08). Webinar ini menghadirkan dosen-dosen DMKP selaku pembicara, yaitu Sofian Effendy, Wahyudi Kumorotomo, Agus Heruanto Hadna, serta Bevaola Kusumasari. Isu yang dibahas adalah seputar sejarah studi kebijakan publik, permasalahan-permasalahan, hingga keterampilan yang dibutuhkan untuk mempersiapkan diri menjadi analis kebijakan secara optimal.

Webinar diawali dengan penjelasan perkembangan studi kebijakan publik oleh Sofian Effendy yang berpengalaman mengajar bidang studi kebijakan publik selama hampir empat puluh tahun di UGM. Studi kebijakan publik pertama kali muncul di Amerika sekitar tahun 1960 ketika Presiden John F. Kennedy berniat merombak manajemen Kementrian Pertahanan yang menyerap anggaran terbesar melalui Planning, Programming, Budgeting System (PPBS). Untuk mewujudkan PPBS yang baik, diperlukan penataan kembali analisis-analisis kebijakan. Hal tersebut kemudian mendorong berdirinya pusat studi analisis kebijakan di beberapa universitas, salah satunya adalah Goldman School of Public Policy di Universitas California pada tahun 1968.

Ada tiga bidang dalam studi kebijakan publik, yaitu riset kebijakan (policy research) untuk menghasilkan policy evidence (data), analis kebijakan (policy analyst) untuk menghasilkan rekomendasi, dan evaluasi implementasi kebijakan. Menurut Sofian, studi kebijakan publik di Indonesia masih fokus pada bidang riset. Hal ini disebabkan karena kurangnya sumber daya dan kebanyakan dosen di Indonesia berlatar belakang akademisi.

“Harvard dan Berkeley (Universitas California) bisa mengembangkan program policy analyst  sampai tingkat Magister atau Ph.D karena yang diangkat sebagai profesor adalah para mantan aktivis sosial yang betul-betul memperjuangkan kebijakan yang menguntungkan rakyat,” kata Sofian.

Meskipun begitu, perkembangan studi analisis kebijakan publik di Amerika dan Indonesia hanya berjarak sekitar sepuluh tahun. Era pertama analis kebijakan publik di Amerika dimulai sekitar tahun 1960, sementara di Indonesia berkembang pada 1970 melalui perencanaan pembangunan orde baru. Pada abad ke-21 ini, studi kebijakan di Amerika diwarnai politisasi. Sementara itu, Sofian menilai kebijakan publik di Indonesia saat ini dipe

Pembicara kedua, Wahyudi Kumorotomo, menilai bahwa analisis kebijakan publik di Indonesia masih cenderung opinion based (berdasar opini), bukan evidence based (berdasar data). Contohnya adalah kasus impor beras pada tahun 2018. Antara pihak pro dan kontra masing-masing memiliki informasi, tetapi tidak bisa dijamin apakah datanya diolah dengan baik. Presiden Republik Indonesia, Joko Widodo, akhirnya meminta Badan Pusat Statistik (BPS) untuk memverifikasi dan melakukan studi langsung di lapangan. Hasilnya, ternyata masih ada surplus sebesar 2,85 juta ton beras pada saat itu. Kasus ini menunjukkan bahwa di Indonesia masih banyak perdebatan kebijakan yang tidak berdasar data resmi.

Sementara itu, persoalan kebijakan terbaru banyak berkaitan dengan Covid-19. Menurut Wahyudi, kebijakan-kebijakan di Indonesia belum merujuk pada data-data ilmiah. Misalnya kasus penularan yang meningkat selama libur panjang. Persoalan ini sebenarnya bisa diprediksi atau dibuktikan secara ilmiah, tetapi sampai sekarang belum ada kebijakan yang tepat untuk mengendalikan penularan ketika liburan.

Oleh karena itu, Indonesia masih memiliki tanggungan untuk meningkatkan kebijakan berbasis bukti (evidence based). Hal ini bisa diupayakan dengan mewujudkan budaya objektif dengan data dan masyarakat yang positive scepticism, misalnya melalui disiplin pengecekan fakta, anti hoaks, dan verifikasi.

Wahyudi juga juga menyebutkan bahwa banyak produk peraturan yang menghambur-hamburkan uang, Pada periode 2004-2016 dari 13.000 Peraturan Daerah (Perda)  terdapat 3.143 buah yang ditolak pemerintah pusat. Selain itu, terdapat 127 buah dari 807 Perda yang peninjauan kembalinya dikabulkan.

“Kalau pada tahun 2012 satu undang-undang kira-kira anggarannya 5,2 milyar, maka total kerugian karena salah kebijakan sangat besar, baik di tingkat daerah maupun di tingkat nasional,” kata Wahyudi.

Berkaitan dengan permasalahan-permasalahan tersebut, Agus Heruanto Hadna, dosen sekaligus Ketua DMKP UGM, membahas hambatan-hambatan jabatan fungsional analis kebijakan serta riset kebijakan. Menurut Peraturan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara Dan Reformasi Birokrasi (Permenpan) No.45 Tahun 2013, analis kebijakan adalah Pegawai Negeri Sipil yang diberikan tugas, tanggung jawab, dan wewenang untuk melaksanakan kajian dan analisis kebijakan dalam lingkungan instansi pusat dan daerah.

Menurut Hadna, hambatan pertama adalah sistem administratif dan birokrasi yang kaku menyebabkan hakikat fungsi analis menjadi pudar, padahal analis harus merdeka dalam berpikir. Selain itu, pendanaan riset sangat bergantung pada pemerintah, yaitu 80% dari pemerintah pada tahun 2012. Padahal, dana riset dari pemerintah sangat rendah, yaitu 0.2% dari GDP. Riset-riset di perguruan tinggi juga sering terhambat administrasi atau sistem keuangan.

Hadna menyebutkan bahwa akar permasalahannya adalah ego yang tinggi antara analis kebijakan dan pembuat kebijakan. Analis lebih memperjuangkan nilai-nilai akademis atau ilmiah, sementara pembuat kebijakan bergantung pada insting dan dukungan politik. Oleh karena itu, Hadna menyebutkan bahwa riset dan analis kebijakan juga harus mempertimbangkan perspektif penilaian politik, praktik profesional, sekaligus riset ilmiah.

Setelah membahas sejarah dan praktiknya di Indonesia, Bevaola Kusumasari selaku pembicara keempat membahas keterampilan-keterampilan yang dibutuhkan seorang analis kebijakan. Sebagai dosen di MKP UGM, Bevaola merasa dirinya berkewajiban untuk membekali mahasiswa agar siap menjadi analis kebijakan. Berdasarkan hasil pengamatan, dan wawancara bersama kolega-koleganya selama dua sampai tiga tahun terakhir, Bevaola menemukan ada sembilan keterampilan penting yang harus ditekuni.

Pertama, kemampuan riset dasar mulai dari menemukan masalah, tujuan dan manfaat riset, hingga menghasilkan output yang mendorong terwujudnya kebijakan. Kedua, statistika dasar seperti memahami jenis dan tipe data serta pengoperasian software SPSS. Ketiga, keterampilan komunikasi dan diplomasi yang meliputi mengenal audiens, menulis email, menulis policy brief, dan mengelola pemangku kepentingan. Keempat, keterampilan studi kasus komparatif untuk membandingkan kebutuhan kebijakan sesuai konteksnya, misalnya berdasar negara atau daerah. Kelima, kemampuan visualisasi data yang akan memudahkan pemetaan data. Keenam, pengelolaan proyek untuk membiasakan mengawal timeline dan penggunaan agile method. Ketujuh, keterampilan-keterampilan teknis seperti penggunaan Ms. Word, Ms. Excel, dan Ms Power Point. Terakhir, penting untuk meningkatkan design thinking serta pemahaman tentang peristilahan dalam bisnis dan pemerintahan.

Dengan memahami sejarah, konsep, dan praktik serta menguasai keterampilan-keterampilan tersebut, harapannya para mahasiswa siap untuk menjadi analis kebijakan demi mendorong terwujudnya kebijakan-kebijakan yang tepat di Indonesia ke depannya. (/Raf)