Yogyakarta, 10 Agustus 2023—Jelang pelaksanaan tahun politik, pencalonan kandidat juga sudah marak dilakukan. Dorongan keterlibatan perempuan dalam politik pun semakin didukung dengan disahkannya Undang-Undang tentang Partai Politik yang mengharuskan setiap partai politik menyertakan 30% keterwakilan perempuan. Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik UGM kembali gelar diskusi bertajuk “Talkshow Perempuan dan Politik: Jejak, Peran, dan Startegi” guna membahas kesetaraan gender dalam partisipasi politik pada Kamis (10/8).
“Partisipasi saat ini memang sudah terpenuhi ya sebanyak 30% di setiap partai politik. Tapi proses untuk mencapai angka tersebut, dan bagaimana caleg perempuan bisa terpilih ini menjadi persoalan lain. Para caleg ini kami lihat juga banyak sekali yang memang memiliki kapabilitas mumpuni sebagai aktor politik,” tutur Fina Itriyati, M.A., Ph.D, Sosiolog sekaligus Wakil Dekan Bidang Penelitian, Pengabdian kepada Masyarakat, Kerja Sama, dan Alumni.
Menurut Fina, para calon politik perempuan bisa merambah ke ranah yang lebih luas jika diberikan kesempatan. Salah satu alasan mengapa keterlibatan perempuan merupakan isu penting yang patut mendapat perhatian, adalah minimnya dukungan lingkungan masyarakat bagi perempuan untuk meniti karir. Hal ini turut diamini oleh pengamat politik dari media jurnalis, Prima Sulitya.
“Lingkungan saat ini itu masih belum sepenuhnya mendukung perempuan untuk berkontribusi lebih di politik. Data BPS pada tahun 2019 itu menyebutkan kalau sektor formal saat ini masih didominasi 83% laki-laki. Bahkan, kalau menurut data, upah perempuan masih terbilang lebih kecil daripada upah laki-laki, yaitu sebesar 77%,” ucap Prima.
Dr. rer. pol. Mada Sukmajati, M.PP mengungkapkan alasan kenapa partisipasi perempuan belum bisa maksimal. “Kita tidak bisa melihat sebatas dari faktor perempuannya saja, ya. Jika berbicara tentang calon legislatif, maka pembahasannya akan semakin luas. Jelas, UU sudah memberikan jaminan 30% pada setiap partai politik. Namun perlu ditekankan juga bahwa angka tersebut mencakup individu yang mumpuni, bukan hanya sekedar persyaratan saja. Ketika parpol lebih memperhatikan hal ini dan membuka kesempatan bagi perempuan yang memiliki kualifikasi tertentu sebagai calon legislatif, saya kira ini juga akan membuka peluang pemilihan lebih besar,” ungkapnya.
Selain faktor keterlibatan perempuan sendiri, faktor pemilih juga merupakan hal yang krusial. Calon legislatif baik perempuan maupun laki-laki harus memiliki strategi yang baik agar dapat mengampanyekan dirinya di depan pemilih. “Masyarakat juga nantinya akan melihat, siapa yang bisa menyelesaikan isu-isu publik dengan lebih baik, terlepas dari apakah caleg tersebut laki-laki atau perempuan. Saya kira yang perlu didorong ini juga adalah kesadaran pada masyarakat untuk lebih memperhatikan juga calon legislatif perempuan,” imbuhnya.
Acara yang sekaligus merupakan peluncuran “Kanal Suara Politik Perempuan: Seri Daerah Istimewa Yogykarta” tersebut berhasil membuka diskusi menarik terkait isu partisipasi politik perempuan. Harapannya, dengan adanya kesetaraan gender dalam perpolitikan Indonesia, akan membuka jalan bagi arah pembangunan untuk lebih memperhatikan kelompok rentan lainnya. (/tsy)