Tanggapi Isu Human vs Machines, CfDS Bahas Eksistensi Kekayaan Intelektual dan Artificial Intelligence

Yogyakarta, 24 Januari 2023–Isu terkait Artificial Intelligence (AI) semakin marak di masyarakat. Berbagai kecerdasan buatan tersebut kini digunakan karena dinilai lebih efektif dan praktis, serta memungkinkan siapapun bisa menghasilkan sebuah karya dengan mudah. Menanggapi wacana tersebut, Center for Digital Society (CfDS) Fisipol UGM menggelar kembali serial diskusi Difussion #83 bertajuk “Legality in the Digital Era: The Revealance of IP on Regulating AI Generated Arts” pada Selasa (24/1).

Gelar wicara yang dilaksanakan secara daring melalui kanal YouTube dan Zoom Meeting tersebut, mengundang dua praktisi aktif di bidang Intellectual Property (IP) dan AI. Salah satunya adalah Bhredipta Socarana selaku Praktisi Kekayaan Intelektual. “Kekayaan Intelektual (KI) itu adalah hak kebendaan yang tidak berwujud atau intangible, jangka waktunya pun ada perlindungannya dalam beragam periode. Dapat dialihkan, dan dilisensikan, perlindungannya bersifat teritorial, dan berlaku setelah KI tersebut terdaftar, kecuali hak cipta. Hukum Indonesia sendiri juga mengatur perlindungan KI dan hak cipta secara ketat,” terang Bhredipta. Ia menjelaskan bagaimana perlindungan terhadap hak cipta memberikan batasan mana saja dari kekayaan intelektual yang perlu dilindungi, beserta pelanggarannya.

“Lalu bagaimana dengan AI? Kalau AI mengambil data orang yang dilindungi dan mendapatkan perlindungan ciptaan, dan ia tidak meminta izin terhadap penggunaan tersebut, maka sebetulnya bisa terjadi pelanggaran hak cipta,” ungkap Bhredipta. Ia menambahkan, pertanggung jawaban terkait pelanggaran hak cipta yang dilakukan AI bisa dikenakan pada banyak pihak, terutama user atau pengguna AI itu sendiri. 

Permasalahan hak cipta dalam AI ini turut diamini oleh praktisi CfDS, Perdana Karim yang gemar menggeluti isu-isu AI dalam seni. “Artis pengguna AI ini pada dasarnya menggunakan algoritma yang bisa menghasilkan visual output. AI seperti generative arts itu munculnya berdasarkan akumulasi-akumulasi dari karya yang bermunculan di internet, karya yang statusnya belum jelas. Apakah itu karya yang public domain atau memiliki copyright,” tutur Karim. 

Karim menambahkan, eksistensi AI pada dasarnya merupakan sebuah tool atau “alat” untuk memudahkan segala aktivitas manusia, bukan sebagai replacement atau “pengganti manusia”. Tak berhenti di sana, Karim juga menjelaskan pandangannya terkait perkembangan AI yang diharapkan di masa depan.

“Adanya AI ini tidak berarti eksistensi seniman-seniman lama menjadi tergeser, bahkan akan semakin dibutuhkan. Cara kerja AI ini sendiri juga tetap membutuhkan operasional dari manusia. Kita cukup berkeyakinan bahwa AI ini adalah sebuah bentuk “alat” bukan murni pencipta karya seperti manusia. Keyakinan tersebut nantinya diharapkan bisa mewujudkan harmonisasi antara human dan machines,” ucap Karim. (/tsy)