Social Policy Club UGM mengadakan diskusi terbuka bagi seluruh mahasiswa Fakultas Ilmu Politik dan Ilmu Sosial (FISIPOL) UGM. Diskusi ini dilakukan untuk membahas UU Kesejahteraan Sosial disusul implementasi BPJS, mimpi negara kesejahteraan menjadi topik yang santer didesiminasikan dalam wacana akademik di Indonesia. Namun, tak ada kesepakatan konseptual mengenai apa itu negara kesejahteraan? Apa prasyarat yang harus dipenuhi bagi sebuah negara untuk dikatakan sebagai negara kesejahteraan? Apakah Indonesia dapat disebut sebagai negara kesejahteraan? Bertempat di Ruang Sidang Dekanat Gedung BB Lantai 2 FISIPOL UGM, acara ini dimulai pada Pk 15:30 WIB dan diakhiri pada Pk 17:30 WIB.
Dalam diskusi ini Social Policy Club bersama narasumber yaitu Hasrul Hanif, MA (Staf Pengajar Departemen Politik dan Pemerintahan UGM) berusaha melihat tantangan dan kesempatan bagi Indonesia untuk menjadi negara kesejahteraan, sekaligus merefleksikan, masih relevankah memimpikan negara kesejahteraan di Indonesia? Jika tidak, adakah solusinya?
Hasrul Hanif membuka diskusi dimulai dari pembukaan konstitusi yang tampaknya muncul ketika negara-negara demokrasi sosial sedang berada di puncak kekuasaan. “Saya membayangkan fundingfather kita terutama orang seperti Hatta saya sangat suka baca sejarahnya dia. Itukan sekolah ketika negara-negara demokrasi sosial itu apakah demokrasi sosial di Eropa itu berada di puncak kekuasaan memegang posisi penting dalam kekuasaan di Eropa. Hatta itu adalah termasuk inspirasi koperasi dia itu kan gara-gara dia jalan jalan ke Negara Skandinavia saat itu boleh jadi karena mereka saat itu para fundingfather kita saat itu sekolah di Eropa. Disaat partai-partai demokrasi sosial berada di puncak atau sedang memegang kekuasaan di banyak negara ditahun-tahun itu kemudian menginspirasi tentang peran maksimal dari negara, negara harus memastikan ketertiban umum, negara harus mensejahterahkan masyarakat, negara harus mencerdaskan kehidupan bangsa yang itu tidak masuk akan kalau dilihat dari ideologi liberalisme,” ungkapnya.
Tiga wajah kapitalisme kesejahteraan dikutip dari buku Gøsta Esping-Andersen yang berjudul The Three Worlds of Welfare Capitalism dikategorikan berdasar dua indikator, pertama adalah derajat dekomodifikasi dan yang kedua adalah dekonstraktifikasi. Tiga model wajah kapitalisme kesejahteraan terdiri dari pertama, ala skandinavier atau negara-negara eropa disebut dengan welfare state, kedua adalah ala negara-negara amerika serikat yang disebut liberal welfare, dan yang ketiga yang disebut sebagai corporate welfare yang ada di negara-negara Eropa Selatan seperti Italia dimana keluarga menjadi sangat penting dalam fondasikesejahteraan karena itu bapak baptis (godfather) memiliki peran yang sangat penting.
Berbicara tentang welfare state ada tiga watak atau model dari kapitalisme kesejahteraan dan yang menjadi fondasi penting bagi modal yang disebut dengan negara kesejahteraan adalah kapitalisme itu sendiri. Jika kembali ke logika Gøsta Esping-Andersen logika welfare state dibaca dari fondasi transformasi struktur ekonomi masyarakat seperti yang terjadi di Eropa di awal abad ke 20 di tahun 1900. Revolusi terbesar dimana mesin mengubah perubahan sosial yang luar biasa, bukan hanya menghadirkan kelas-kelas kapitalisme baru yang kemudian menuntut hak sipil dan politik lebih luas diluar bangsawan. “Kalau dulu semua kendali atas tanah ada pada bangsawan tapi kemudian ada orang yang tidak terlahir dari darah biru tapi karena proses ini industrialisasi dia menguasai kapital yaitu private property. Industrialisasi memakan korban, dalam proses ini ada orang yang tiba-tiba bekerja dan mengalami kecelakaan, ada orang yang ingin bekerja tetapi tidak memiliki kompetensi untuk masuk ke dunia industri. Ada resiko orang yang kemudian mengalami eksklusi secara sosial dia tidak menjadi bagian jadi proses industrialisasi,” papar Hasrul Hanif.
Selanjutnya, Hasruf Hanif menjelaskan, “karena itu ada saatnya negara memastikan insurance dengan logika maka citizenship pasar itu adalah mekanisme penting. Nanti dilacak apakah program Presiden Jokowi infrastruktur dan semacam itu berhasil mendorong proses industrialisasi. Saya ingin mengajak mari kita pikirkan bahwa kita sedang membayangkan welfare state di Indonesia yang saya yakini ada fondasi-fondasinya baru nanti kita ngomong soal manajemen social policynya seperti apa dan bagaimana caranya, tentang mekanisme pengaduan, komplain mekanisme dan saya ingin mengajak teman-teman masuk ke dimensi yang di fondasi sosial welfare state,” pungkasnya. (/dbr)