Pada 24 Juni 2016 lalu, Departemen Sosiologi FISIPOL UGM bekerja sama dengan Grinnell College menyelenggarakan sebuah diskusi publik dengan judul “The Mosque as a ‘School of Democracy’: Civic Skill Opportunity and Houses of Worship in Yogyakarta” bertempat di Ruang Sidang Dekanat FISIPOL. Diskusi publik ini menghadirkan Danielle Lussier, P.hD dari Grinnell College USA sebagai pembicara dan Hakimul Ikhwan, P.hD dari Departemen Sosiologi sebagai moderator.
Diskusi ini dihadiri oleh para mahasiswa, dosen dan pihak-pihak yang terlibat dalam penelitian ini. Danielle memulai diskusi dengan presentasi mengenai penelitiannya yang saat ini masih berjalan dan dibantu oleh tiga asisten. Dalam presentasinya, Danielle menjelaskan bahwa banyak dari rumah-rumah ibadah di luar Indonesia yang menjadi sekolah demokrasi karena menjadi tempat berkumpulnya komunitas. Ia kemudian mempertanyakan apakah hal tersebut terjadi juga di Indonesia, khususnya Yogyakarta?
Diawal, Danielle menjelaskan tujuh rumah ibadah yang ia jadikan sebagai lokasi penelitiannya. Diantaranya adalah Masjid Jogokariyan, Masjid Jendral Sudirman, Masjid Al-Huda, Gereja Santo Antonius, Gereja Hati Santa Perawan Maria Tak Bercela, GKJ Gondokusuman, GPdI Hagios Family. Ia kemudian menjelaskan bagaimana situasi yang ada dan berkembang di rumah-rumah ibadah tersebut, seberapa aktif individu yang ada didalam organisasi tersebut dan seberapa mungkin keterampilan sipil dapat dibentuk didalam rumah-rumah ibadah tersebut.
Kemudian Danielle menjelaskan bahwa rumah-rumah ibadah di Yogyakarta menawarkan pengembangan keterampilan sipil. Namun, dalam penelitiannya ia menemukan fakta bahwa masjid cenderung menawarkan kemungkinan lebih sedikit untuk individu dapat berlatih organisasi dan kemampuan berkomunikasi daripada gereja.
Danielle kemudian menemukan fakta bahwa kelompok-kelompok perempuan ternyata aktif dalam semua rumah ibadah, baik dalam kelompok studi Al-Qur’an, kelompok studi Alkitab, dan kelompok dalam lingkungannya. Ia menemukan bahwa walaupun laki-laki mendominasi kepemimpinan dirumah ibadah tetapi perempuan hadir dan terlibat dalam komunitas, terutama gereja-gereja. Hal sebaliknya justru terjadi pada masjid-masjid. Sebagian besar keputusan-keputusan ditetapkan pada waktu antara selepas sholat maghrib dan sebelum sholat isya, tetapi perempuan biasanya secara fisik tidak hadir dalam diskusi-diskusi tersebut. Perempuan justru akan lebih aktif dalam hal-hal non-pekerjaan, seperti kegiatan tadarus, persiapan buka puasa, dan lain-lain yang memakan waktu selepas sholat ashar sampai dengan sebelum sholat maghrib. Akibatnya, perempuan akan lebih sulit dalam mengakses pendidikan dan pengembangan keterampilan ditempat-tempat kerja yang ternyata hal tersebut juga diamini oleh norma-norma organisasi masjid. Bias gender mungkin dapat menjelaskan mengapa masjid lebih sedikit menawarkan kemungkinan untuk melatih kemampuan sipil. Hal ini juga dapat menjelaskan mengapa pada negara-negara mayoritas muslim proses demokrasi jauh lebih sedikit terjadi.
Diakhir presentasinya Danielle menegaskan bahwa lebih baik kita melihat masjid sebagai sarana dalam pengembangan sekolah demokrasi daripada sumber radikalisasi. Ketika kita berbicara mengenai perspektif jangka panjang, rumah ibadah seharusnya dapat digunakan sebagai tempat dimana individu belajar mengenai keterampilan-keterampilan yang mungkin akan dapat membantu mereka menjadi lebih aktif sebagai peserta dari demokrasi itu sendiri.