Apakah anda adalah bagian dari orang-orang yang sering mengikuti serial drama kasus korupsi salah satu anggota DPR (Dewan Perwakilan Rakyat) baru-baru ini? Kasus tersebut memang menjadi perbincangan publik terutama di media sosial. Banyak dari warga net secara kreatif membuat meme yang berkaitan dengan perkembangan kasus tersebut. Mulai dari meme seputar rumah sakit, bakpao, hingga tiang listrik secara masif berkeliaran di berbagai akun dagelan.
Kasus tersebut bukan hanya berhasil memberikan hiburan gratis ke masyarakat, tetapi juga semakin menurunkan tingkat kepercayaan masyarakat kepada lembaga representatif negara seperti DPR, MPR (Majelis Perwakilan Rakyat), maupun DPD (Dewan Perwakilan Daerah). Hal ini diperjelas oleh Dr. Arie Sujito dalam sambutannya di diskusi yang bertajuk “Revisi Rancangan Undang-Undang tentang MPR, DPR, DPD Perspektif: Sosial, Politik, dan Hukum pada 12 Desember lalu. Menurut Arie, isu seputar kelembagaan negara ini memang mengalami perbedabatan yang berkenaan dengan fungsi representasinya. Bisa dikatakan, tiga lembaga ini “gagal” dalam membangun citra yang baik sebagai lembaga representatif negara. “Apalagi DPR terutama memiliki sorotan yang berkenaan dengan kekosongan kepemimpinan,” tambahnya.
Diskusi yang diselenggarakan oleh Departemen Sosiologi Fisipol UGM bersama dengan Sociology Research Center (SOREC) dan Badan Keahlihan Dewan (BKD) DPR RI (Republik Indonesia) ini menghadirkan kurang lebih 20 anggota DPR maupun DPD. Selain itu, diskusi yang bertempat di Ruang Sidang Dekanat Fisipol UGM ini juga dihadiri oleh Dr. Mada Sukmajati selaku Dosen Fisipol UGM, Andi Sandi Antonius T.T., S.H, LLM selaku Dosen Fakultas Hukum, dan K. Johnson Rajagukguk, SH., M.Hum selaku Kepala BKD DPR RI sebagai pembicara. Tidak hanya itu, Dr. Indra Pahlevi, S.IP., M.Si selaku Kepala Pusat Keahlihan BKD DPR RI juga ikut serta dalam menambahkan materi seputar permasalahan yang dihadapi tiga lembaga negara tersebut.
Dalam pemaparan pertama, Indra menjelaskan secara detail apa saja permasalahan maupun isu yang sedang dihadapi oleh tiga lembaga tersebut. Pertama, di lingkup MPR, ada isu terkait dengan hak dan kewajiban anggota, alat kelengkapan, serta pembelaan keputusan. “Di lingkup MPR memang yang menjadi perdebatan adalah seputar kinerja mereka, apakah hanya mengadakan sosialisasi amandemen atau seperti apa,” ungkap Indra. Kedua, di lingkup DPR, Indra mengungkapkan ada permasalahan seputar jumlah keanggotaan dan pimpinan. “Ada perdebatan apakah ini akan ditambah atau justru dikurangi,” jelasnya. Selain itu, juga terdapat persoalan seputar Mahkamah Penguatan Dewan, hak angket atau hak pengawasan yang diberikan oleh DPR apakah diperlukan atau tidak, independensi anggaran, dan prosedur pemilihan DPR. “DPR sekarang kalau nyalon jadi gubernur atau walikota harus mundur, tapi dulu tidak langsung mundur,” tambahnya. Ketiga, lingkup DPD yaitu seputar persoalan tugas, alat kelengkapan, dan hak anggaran.
Selanjutnya, Johnson lebih menyoroti persoalan seputar imunitas yang diberikan oleh DPR maupun MPR. Isu inilah yang sedang menjadi perdebatan publik setelah adanya kasus korupsi oleh salah satu anggota DPR. Johnson mengungkapkan bahwa di era Orde Baru hak imunitas hanya diberikan pada saat menjalankan tugas negara, seperti menentukan sikap dan pendapat saat rapat. Namun, di era reformasi muncul pemikiran bahwa rapat bisa diadakan di luar lingkungan kantor maka harus ada hak imunitas juga. Dalam hal ini, Johnson menekankan bahwa hak imunitas tidak melindungi baik anggota DPR maupun MPR yang tersandung tindak pidana.
Mada dalam pemaparannya, mengungkapkan bahwa persoalan yang sedang dihadapi oleh tiga lembaga tersebut memang akan semakin menurunkan tingkat kepercayaan masyarakat. Menurut Mada, representasi itu berarti kesesuaian rakyat sebagai landasan pembuatan aturan negara. Namun, dalam pelaksanaannya justru disesuaikan dengan kepentingan-kepentingan partai politik. “Jadi wajar jika tingkat kepercayaan masyarakat rendah. Miris di era demokrasi seperti ini tapi justru tingkat kepercayaan masyarakat terdapat lembaga negara rendah,” tambahnya.
Oleh karena itu, Arie mengusulkan perlu adanya campur tangan publik dalam semua proses yang dilakukan oleh lembaga ini. “Publik untuk saat ini tidak diberikan ruang, jadi perlu adanya dorongan publik untuk masuk,” ungkapnya. Arie berharap bahwa isu publik bisa menjadi isu parlemen dan sebaliknya, isu parlemen adalah isu publik. (/ran)