Yogyakarta, 17 November 2023─Kebijakan yang bersifat diskriminatif dan eksklusif masih banyak ditemukan di beberapa daerah di Indonesia. Merespons hal tersebut, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Gadjah Mada melakukan riset bertajuk “Morality Policies/Politics and the Prospect for Inclusive Citizenship in Decentralised Indonesia: A Study of West Java” yang berkolaborasi dengan Kemitraan Australia-Indonesia Menuju Masyarakat Inklusif (INKLUSI) dan beranggotakan Wawan Mas;udi, Dekan Fisipol UGM; Erwan Purwanto; Ayu Rahmawati; Ulya Jamson; dan Fuji Prastowo. Pemilihan Provinsi Jawa Barat sebagai fokus dalam penelitian tersebut bukan tanpa alasan. “(Kota-kota) Jawa Barat berkali-kali masuk ke dalam indeks intoleran dan memiliki kasus terlapor paling tinggi untuk urusan diskriminasi,” jelas Ayu Rahmawati dalam acara Research Days yang diselenggarakan pada Jum’at (17/11).
Melalui proses policy review, penelitian tersebut berhasil mengungkap beberapa pola eksklusi dalam kebijakan dari aspek bingkai kebijakan, proses perumusan kebijakan, serta strategi yang digunakan dalam membuat kebijakan. Dari aspek bingkai kebijakan, terdapat 117 kebijakan berbingkai moral dari 121 kebijakan yang diteliti. “Dari 117 ini, 59 diantaranya bersifat manifes dan sisanya bersifat laten,” jelas Ayu. Kebijakan berbingkai moral yang bersifat manifes berarti nilai baik buruk suatu hal tertulis secara eksplisit dalam kebijakan. Sedangkan kebijakan berbingkai moral yang bersifat laten berarti nilai-nilai moral tidak tertulis secara eksplisit.
“Sebagai contoh, kebijakan mengenai Izin Mendirikan Bangunan yang terkesan biasa saja. Namun, apabila bangunan yang ingin didirikan merupakan rumah ibadah untuk kelompok minoritas, maka kebijakan tersebut dapat dibingkai sedemikian rupa sehingga membatasi hak-hak kelompok minoritas,” terang Ayu.
Dari aspek pembuatan kebijakan, terdapat tiga jalur yang sering ditemukan dalam pembuatan kebijakan eksklusif, yaitu Government-led pathway, Party-led pathway, dan Religious group-led pathway. Sedangkan, strategi-strategi yang digunakan pada umumnya merupakan kombinasi antara strategi formal dan informal. “Sebagai contoh, ada inisiasi yang datang dari (anggota) legislatif atau partai politik tertentu, tetapi di sisi lain terdapat pula demonstrasi publik yang diselenggarakan oleh organisasi masyarakat untuk mendukung keberadaan kebijakan eksklusif,” ungkap Ayu.
Lebih lanjut, Ayu juga menjelaskan beberapa situasi yang dapat menjadi pupuk bagi berkembangnya kebijakan-kebijakan eksklusif. “Pertama, politisinya harus pragmatis dalam artian butuh mengamankan suara dari kelompok mayoritas. Kedua, adanya kelompok religius konservatif yang ingin memperkuat posisinya dalam proses pembuatan kebijakan. Ketiga, terdapat pemilih-pemilih intoleran yang cenderung memilih pemimpin dengan identitas yang sesuai dengan pemilih. Keempat, tidak adanya gerakan dari aktor-aktor pro-inklusi di daerah tersebut,” ucap Ayu.
Berdasarkan temuan-temuan yang ada, kebijakan eksklusif jelas masih langgeng di beberapa daerah di Indonesia. Terdapat beberapa rekomendasi yang diusulkan dalam penelitian tersebut, diantaranya yaitu perlu adanya tim khusus yang bertugas untuk meninjau kebijakan eksklusif pada level nasional hingga daerah dan menciptakan strategi untuk mengurangi dampak buruk dari kebijakan tersebut. Selain itu, meningkatkan kesadaran bagi pemerintah mengenai pentingnya inklusi sosial dalam program-program mereka juga penting untuk dilakukan. Lebih lanjut, Pemilihan Umum (Pemilu) juga harus dipastikan agar tidak dijadikan ajang bagi politisi-politisi untuk memberi janji yang bersifat eksklusif. “Tidak cukup hanya dengan melarang hate speech, kita harus mendorong partai politik untuk lebih inklusif dalam proses kampanye dan pemilu,” tegas Ayu. Terakhir, aktor-aktor pro-inklusi, termasuk kampus, juga harus diperkuat dan didukung. (/tt)