Kamis (18/5) lalu, CDC bersama dengan Fisipol UGM telah menggelar acara bertajuk Fisipol Talk: How to Get A Scholarship pada pukul 10.00 WIB di ruang BA 204 Fisipol UGM. Acara yang diikuti oleh 18 mahasiswa dan mahasiswi lintas fakultas di UGM ini menghadirkan tiga pembicara. Para pembicara berasal dari berbagai latar belakang dengan pengalaman-pengalamannya dalam mencari beasiswa serta berbagi bagaimana mereka beradaptasi di lingkup sosial dan akademik di tempat studi hingga masa beasiswanya berakhir.
A.g. Kustulasari, M.A., selaku dosen Departemen Manajemen dan Kebijakan Publik yang pernah mendapatkan Beasiswa Fullbright di Ohio State University, USA membuka sesi ini sebagai pembicara pertama. Fullbright sendiri merupakan program pertukaran internasional dari pemerintah Amerika Serikat yang didirikan pada tahun 1946 di bawah undang-undang yang diperkenalkan oleh mantan Senator J. William Fullbright. Program ini dirancang untuk meningkatkan mutual understanding di antara orang-orang Amerika Serikat dan orang-orang dari negara-negara lain. Di bawah program ini, hibah diberikan kepada warga negara Amerika dan luar negeri untuk belajar, mengajar, kuliah, sampai melakukan penelitian di luar negeri. American Indonesian Exchange Foundation (AMINEF) adalah komisi binasional Fullbright untuk Indonesia dan sejak 1950 telah membantu 2.815 orang Indonesia dan 1.120 orang Amerika dalam program pertukaran. Sekitar 80 persen dari orang Indonesia yang tergabung dalam program ini telah menerima gelar pada tingkatan master atau doktoral dari Universitas di Amerika, sedangkan 20% sisanya telah berpartisipasi dalam program pertukaran non-gelar oleh AMINEF.
Kustulasari membagikan tips-tips untuk bisa mendapatkan Beasiswa Fullbright. Ia membaginya dalam beberapa tahap seperti: seleksi berkas, wawancara, TesiBT GRE/GMAT, aplikasi ke uni, sampai dengan persiapan pre-departure orientation. Persiapan dalam segala aspek menjadi sangat penting menurutnya demi menghindari berbagai macam hal yang tidak diinginkan seperti cultural shock akan budaya akademik serta budaya berkehidupan di tempat studi. Menurut pengalamannya, tidak ada alasan untuk mahasiswa beasiswa terpilih untuk membuat alasan saat melakoni studi, karena di Ohio State Unversity, di tempatnya belajar, segala infrastruktur dan birokrasi kampus telah sangat-sangat membantunya dalam menunjang kegiatan akademiknya di sana.
Pembicara selanjutnya dilanjutkan oleh Zahro Karmila, S.IP, alumni departemen Manajemen dan Kebijakan Publik 2012 yang pernah mengikuti program beasiswa pertukaran pelajar ke University of Tokyo, Jepang dari JASSO (Japan Student Services Organization). Beasiswa yang ditawarkan oleh JASSO sendiri diberikan bagi mahasiswa internasional yang telah diterima oleh universitas, junior college, college of technology, atau professional training college di Jepang, di bawah perjanjian pertukaran pelajar antara institusi pendidikan di luar Jepang.
Menurut Zahro, yang mengambil cuti kuliah saat mengambil beasiswanya, beberapa strategi mumpuni yang bisa dilakukan oleh mahasiswa bisa dimulai dengan mencari informasi pertukaran pelajar di laman website atau akun sosial media OIA (Office of International Affairs) UGM. Kesiap-sediaan dengan dokumen umum yang nantinya pasti dibutuhkan juga krusial, seperti: paspor dan sertifikat TOEFL/IELTS. Menunjukkan performa akademik dan personal records yang bagus juga menjadi penting agar recommendation letter yang nantinya dibuat oleh dosen/pengajar bisa menjadi lebih personal dan jujur. Sampai dengan menunjukkan bahwa keikutsertaan Anda, para calon pengaju beasiswa, akan benar-benar bermanfaat bagi studi dan karir Anda kelak, karena pihak universitas yang dituju pun akan selalu memperhatikan niat dari calon mahasiswanya. Selain itu, mencari tahu tentang fasilitas-fasilitas yang disediakan universitas juga sangat membantu dalam perhitungan estimasi biaya hidup demi menyesuaikan kebutuhan diri.
A. Rizky Mardhatillah Umar, M.Sc, selaku staff dan peneliti di ASEAN Studies Center (ASC) Fisipol UGM, yang pernah mendapatkan beasiswa dari LPDP (Lembaga Pengelola Dana Pendidikan) dari Kementerian Keuangan Republik Indonesia di University of Sheffield, UK menjadi pembicara selanjutnya sekaligus terakhir. Umar menyebutkan bahwa dalam prosesnya mendapatkan beasiswa LPDP, hal-hal personal/ikatan emosional terhadap hal ke-Indonesia-an menjadi penting untuk diselipkan dalam wawancara. Memiliki LOA (Letter of Acceptance) juga membantu untuk memperlancar proses tersebut.
Dari ketiga pembicara ini, problem-problem yang dialami tidak jauh dari bagaimana mereka menyesuaikan diri dengan budaya yang berlaku di tempat studi agar tidak mengalami cultural shock. Terutama pada bagaimana budaya belajar di Indonesia yang tidak bisa disamakan dengan di Amerika, Jepang, maupun Inggris. [Dwiki Aprinaldi]