Dalam perjalanannya, media online menjadi media alternatif dari surat kabar konvensional. Media online adalah arus media utama saat ini, kecepatannya tidak bisa disaingi oleh media-media konvensional lainnya. Namun kecepatan yang menjadi keunggulan media online dapat menjadi kelemahan dari media itu sendiri. Baru-baru ini sebuah bisnis penyebaran kebencian di dunia maya bernama sindikat Saracen, tertangkap. Pelaku bisnis e-hate tersebut mengeruk keuntungan dengan cara memprovokasi lewat berita-berita bohong (hoax).
Selama setahun belakangan, Tirto.id hadir dengan tajuk “jernih, mengalir, mecerahkan”, media tersebut berkembang pesat dalam pemberitaannya. Hadir dengan tulisan-tulisan yang panjang dan juga mendalam, membuat Tirto.id menjadi media online yang berbeda dengan yang lain.
Melihat fenomena tersebut, Center for Digital Society mengundang Zen RS (Editor at Large Tirto.id) dalam Digitalk #11 dengan tema Gelombang Baru Jurnalisme Digital. Acara yang dikemas santai diselenggarakan di Ruang Auditorium Fisipol UGM pada tanggal 24 Agustus 2017 sejak pukul 09.30 WIB.
Nama Tirto.id sendiri diambil dari pahlawan nasional bapak pers Tirto Adhi Soerjo yang pada masanya mendirikan surat kabar Soenda Berita, Medan Prijaji, dan Putri Hindia juga pembentukan Sarekat Dagang Islam (SDI).
“Semua apresiasi yang diberikan kepada Tirto adalah apresiasi yang masih terlalu dini. Tirto ini baru berusia satu tahun dan ibarat bayi satu tahun belum bisa jalan jadi Tirto sendiri baru saja memulai belum banyak ujian yang kami hadapi. Misalnya tiba-tiba Donald Trump mau beli itu bukan godaan yang mudah,” canda Zen membuka diskusi.
Menurut Zen RS, citra yang dibangun Tirto.id ialah informasi analisis, in depth, long form, data dan visual. Ketika sebuah media ingin masuk ke pasar maka pilihannya hanya ada dua, head to head dengan media penguasa pasar dan kedua berbeda. Pilihan menjadi berbeda tampaknya yang menjadikan Tirto.id kini menjadi salah satu sumber informasi.
Digitalk #11 kali ini dihadiri oleh 150 peserta dari berbagi kampus. Antusiasme para peserta semakin terlihat ketika moderator membuka sesi pertanyaan. Banyak pertanyaan tentang bagaimana Tirto.id menjadi media yang independen, pemilihan judul yang tepat, hingga tentang bisnis model Tirto.id.
“Selama satu tahun penuh Tirto menghadirkan versi beta website yang tanpa iklan. Ini sudah menjadi keputusan tim redaksi sendiri untuk tidak memasang iklan. Tapi kedepannya, setiap media tentu harus mampu menghidupi diri dia sendiri. Kalau tidak, ia dapat menjadi sangat rentan terhadap intervensi bisnis maupun politik. Dalam beberapa waktu kedepan, dimana masuk tahun kedua Tirto, kami sudah mulai memilah untuk mengatur iklan apa yang akan kami tampilkan” ungkap Zen RS.
Zen pun mengakui bahwa Tirto.id yang baru berdiri satu tahun masih cukup dini untuk disebut media yang sukses. Zen RS mengungkapkan tantangan terbesarnya justru datang ketika Tirto.id sudah memasuki tahun ke 2-3 hingga jauh kedepan. Namun disamping itu, Zen sendiri tidak menampik pencapaian Tirto.id yang mampu dikenal masyarakat Indonesia secara luas hanya dalam waktu satu tahun. Tirto.id berhasil menduduki peringkat 60an dalam 100 besar website yang paling banyak diakses. Dalam satu bulan, Tirto.id dapat meraih 6juta pembaca. Pencapaian Tirto.id ini sekaligus mematahkan argumentasi yang menjustifikasi bahwa netizen hanya mau membaca artikel-artikel pendek.