Yogyakarta, 25 Oktober 2023—Gaya pekerjaan di era ini telah mengalami perubahan yang signifikan. Sejak pandemi, sebanyak 22% orang mengaku memilih bekerja dari rumah, dan 32% memilih pekerjaan digital. Hal ini mengindikasikan adanya perubahan tren pekerjaan yang mulai didominasi ruang digital. Social Research Center (SORES) Fisipol UGM mengangkat isu ini dalam seminar bertajuk “Future Work: Tantangan dan Kerentanan Indonesia Masa Depan” pada Rabu (25/10).
Terdapat tiga hal yang memicu berubahnya model pekerjaan saat ini dan di masa depan. Ketiganya adalah disrupsi, adaptasi teknologi, dan transformasi kerja. “Teknologi, perubahan iklim, dan pandemi itu menjadi salah satu pembuat perubahan besar. Ini merubah cara hidup manusia, mulai dari cara bekerja, beraktivitas, dan berinteraksi. Sebenarnya sebelum itupun sudah ada adaptasi teknologi terhadap kemunculan AI. Tapi dengan adanya pandemi, ini melengkapi disrupsi yang ada. Ini juga memunculkan isu terkait perbedaan penguasaan teknologi pada beberapa golongan usia tertentu, atau generasi,” ungkap Odan Asdi Artosa, Peneliti SOREC Fisipol UGM.
Era digital membuat siapapun yang terhubung dengan perangkat dan internet dapat saling berinteraksi tanpa harus bertatap muka. Kelebihan teknologi ini membuat banyak pekerjaan berbentuk crowdwork, yakni sekumpulan orang yang bekerja sama dalam sebuah platform tertentu. McKinsey Global Institute memperkirakan faktor-faktor tersebut akan membuat 400-800 juta orang akan kehilangan pekerjaannya di 2030. Fenomena tersebut disebabkan oleh ketidakmampuan tenaga kerja untuk menyesuaikan perkembangan teknologi dan pekerjaan yang ada. Itulah mengapa proyeksi pekerjaan di masa depan perlu diperhatikan agar tenaga kerja dapat mempersiapkan keahlian yang dibutuhkan industri.
“Jika dulu bekerja harus berangkat ke kantor, sekarang bebas. Selama terhubung dengan perangkat dan internet, kita bebas bekerja di mana saja. Peran platform di sini juga menjadi penghubung antara demand industri dengan tenaga kerja. Lalu siapa sebenarnya crowdworker ini? Kalau dari data, crowdworker didominasi oleh kelompok usia 26 tahun ke atas. Jadi kelompok muda memiliki peran penting,” tutur Odan. International Labour Organization (ILO) telah membagi pekerjaan era digital menjadi dua, yakni web-based dan location-based. Keduanya sama-sama dinaungi oleh platform sebagai medium utama. Namun bedanya, location-based masih memiliki keterkaitan erat dengan lokasi.
Berbanding terbalik dengan pesatnya perkembangan teknologi, adaptasi ketenagakerjaan terhadap disrupsi tersebut nampaknya belum maksimal. Kecepatan laju informasi dan kemudahan komunikasi tidak menjadikan pekerjaan mudah didapat. Justru informasi yang tersedia cenderung tumpang tindih, sehingga mengakibatkan pekerja kesulitan memiliki pekerjaan yang diinginkan atau sesuai dengan latar pendidikan. Isu ini turut diangkat oleh penulis buku “Yang Tidak Banyak Dikatakan Soal Pekerja Media,” Citra Maudy Mahanani.
“Setelah lulus sekolah, pemuda-pemuda ini banyak kemakan dengan anggapan di masyarakat. Seperti, harus memulai magang sejak di perkuliahan, preferensi gaji, dan lain-lain. Jadi mereka sebenarnya masih bingung untuk tahu, bagaimana sebenarnya mencari pekerjaan. Bagi sebagian orang, jadinya pekerjaan yang tidak layak-pun lebih baik daripada tidak bekerja,” ucap Citra. Terbukanya berbagai lapangan kerja di ruang digital tidak serta merta membuat seluruh pekerjaan tersebut layak. Sayangnya, karena serapan kerja yang tidak maksimal, kondisi ini justru membuat pekerja sulit keluar dari pekerjaan yang tidak diinginkan.
Isu yang diangkat SOREC Fisipol UGM dalam rangka Dies Natalis ke-68 ini sejalan dengan poin 8 Suistanable Development Goals (SDGs), yakni pekerjaan layak dan pertumbuhan ekonomi. Disrupsi digital memang tidak dapat dihindari. Tak hanya Indonesia, negara-negara lain juga memiliki tantangan sendiri dalam menghadapi isu ketenagakerjaan. Untuk itu, perlu adanya dorongan untuk mengedepankan isu ini sebagai bagian dari upaya adaptasi terhadap perubahan menuju Indonesia Emas 2045. (/tsy)