Sebutan Yogyakarta sebagai kota pariwisata menggambarkan potensi propinsi ini dalam kacamata kepariwisataan. Yogyakarta adalah daerah tujuan wisata terbesar kedua setelah Bali. Berbagai jenis obyek wisata dikembangkan di wilayah ini, seperti wisata alam, wisata sejarah, wisata budaya, wisata pendidikan, wisata belanja, bahkan yang terbaru wisata malam. Wisata belanja yang dari dulu dan sampai sekarang ini selalu diminati para wisatawan baik domestik maupun mancanegara adalah wisata belanja di kawasan Malioboro.
Namun seiring dengan tingginya jumlah kunjungan wisata ke Yogyakarta, kota ini mengalami dilema. Untuk membahas problematika tersebut, YouSure Fisipol UGM menggelar Bincang Muda dengan tema Jejak Karbon: Pemuda dan Dilema Ekowisata, Jumat (28/7) bertempat di Auditorium Lantai 4 Fisipol UGM. Hadir sebagai narasumber Anita Nirody (United Nation Resident Coordinator Representative of Indonesia), Kepala Seksi Standarisasi Dinas Pariwisata DIY Jufri, dan Manto Sitindaon (Ketua Mahasiswa Pecinta Alam Universitas Gadjah Mada).
Dalam paparan Anita Nirody, berbagai program Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) di Indonesia telah diimplementasikan melalui kelembagaan bidang seperti UNESCO, UNRC, UNDP dan instansi sektoral lainya. Dalam bidang kebudayaan misalnya, UNESCO telah mengapresiasi berbagai cagar budaya di Indonesia seperti Candi Borobudur. Adapun UNRC sendiri yang berfokus terhadap berbagai program sesuai amanat Sustainble Development Goals dibidang lingkungan hidup.
“Indonesia memiliki posisi yang strategis dalam berpartisipasi aktif menjaga keberlanjutan lingkungan. Hal ini tentu juga didukung oleh Indonesia sebagai TOP 10 negara dengan potensi biodiversity terbesar di dunia. Dalam ranah lingkungan laut, peran strategis sebagai negara maritim juga telah diwujudkan Indonesia melalui kebijakan poros maritimnya,” jelas Anita.
Senada dengan Anita, berbicara pariwisata, Jufri (Kepala Seksi Standarisasi Dinas Pariwisata) mengakui bahwa Yogyakarta merupakan salah satu daerah yang ramah lingkungan, jika dibandingkan daerah lain.
“Yogyakarta sudah tergolong bagus. Hal ini bisa dilihat dari kuantitas sampah yang relatif rendah. Pariwisata memang memiliki keunggulan dibandingkan bidang lain seperti murah modal dan tidak habis pakai seperti sumber daya alam lainya yang tidak dapat diperbaharui,” ungkap Jufri.
Adapun Dinas Pariwisata Daerah Istimewa Yogyakarta sebagai instansi level daerah di bidang pariwisata turut aktif memfasilitasi pengembangan ekowisata dan kepemudaan. Beberapa program yang melibatkan peran aktif anak muda telah dilaksanakan seperti Pemilihan Dimas Diajeng dan Java Summer Camp di Tebing Breksi. Untuk merespon dilema lingkungan dinas pariwisata bekerjasama dengan badan lingkungan hidup, pemadam kebakaran, dinas kesehatan melaksanakan audit pembuangan limbah.
Turut hadir Manto Sitindaon (Ketua MAPALA UGM), menurutnya dilema yang terjadi sekarang ialah atroposentris dimana lingkungan disesuaikan kebutuhan manusia, padahal seharusnya manusia yang menyesuaikan diri agar dijaga kelestarian alam dan seimbang.
“Jika dilihat dari subjeknya yang merusak alam juga banyak oleh anak muda, apalagi 60% populasi ke depan adalah anak muda. Selebihnya ironi lain adalah partisipasi masyarakat setempat, studi kasus ini terjadi di taman nasional komodo. Disini agent travel membawa tamu dan wilayah dikelola pihak swasta asing, tetapi masyarakat hanya sebagai pengrajin,” jelas Manto.
Lalu dimana posisi mahasiswa pecinta alam? Pegiat alam jug perlu menjaga ekotourism, selain jalan jalan di alam. Sebagai contoh Mapala UGM memiliki Renstra 50 tahun ke depan dengan program UGM Internationl Expedition, Wanamapa tempat pengabdian – pelatihan sosial camping di Panggang Gunungkidul.
“Mapala setidaknya harus melaksanakan tri dharma untuk alam, budaya dan manusia. Berbagai kegiatan caving, SOP dan sertifikasi kegiatan outdoor,” tutup Manto. (/dbr)