Dalam relasi bertetangga, proses saling kenal dan memahami menjadi hal yang mutlak. Dalam hal ini proses saling kenal dan lebih jauh saling memahami menjadi faktor penentu bagaimana sebuah ‘hubungan’ itu terus berlanjut. Begitu juga halnya jika diterapkan dalam hubungan bilateral antara Indonesia dengan Australia sebagai sebagai sebuah bangsa yang bertetangga. Bukan saja karena letaknya yang saling berdekatan, tetapi karena punya ‘sejarah yang agak mirip’ hubungan mutual agaknya perlu terus dirajut demi kemaslahatan bersama. Oleh karena itu, sebagai tetangga, pertukaran nilai-nilai universal baik secara kultural dan sosial menjadi bagian penting dalam rangka saling kenal, memahami pun mengerti.
Jika demikian halnya, peran universitas sebagai perantara menjadi penting dalam proses saling memahami dan mengerti tersebut. Sebagai bagian dari lembaga pendidikan, universitas bisa menjadi jembatan strategis sebagai upaya perdana dalam proses transfer pengetahuan antar dua bangsa itu. Dari proses itu nantinya diharapkan mampu terjalin hubungan yang saling menguntungkan bagi kedua bangsa.
Hal tersebut coba disampaikan oleh Dr. Paripurna Sugarda, S.H,L.LM (Wakil Rektor Bidang Kerjasama dan Alumni UGM) dan Dr. Ing Ilya Fajar Maharika, MA IAI (Wakil Rektor I UII) sebagai opening ceremony dalam acara seminar bertajuk “Convention On Australian Studies” pada Rabu (20/5) pagi. Acara yang mengambil tempat di Ruang Audit Gedung Sekolah Pascasarjana Lt. 5 ini, selain dihadiri oleh mahasiswa dari Indonesia juga dihadiri oleh perwakilan mahasiswa Australia yang sedang menempuh studi di Indonesia. Selain itu, beberapa dosen dan perwakilan dari taruna Akademi Militer juga turut mengikuti jalannya seminar. Seminar yang diselenggarakan oleh Program Studi Hubungan Internasional UGM dan UII ini bekerjasama dengan Department School of Social dan Sciences, Faculty of Arts University of Melbourne.
Acara yang dimoderatori oleh Atin Prabandari, MA ini mengundang empat orang narasumber dalam seminar tersebut. Pertama, Prof. John Murphy merupakan pengajar pada Universitas Melbourne dan saat ini menjabat sebagai Acting Dean, Faculty of Arts University of Melbourne. Kedua, adalah Michael Bachelard seorang jurnalis Australia koresponden Fairfax Mediaterutama untuk Sydney Morning Herald. Selanjutnya ada Prodita Sabarini, saat ini bekerja sebagai editor di The Conversation khusus menangani masalah Indonesia (Jakarta). Serta, terakhir adalah Drs. Dafri Agussalim, MA pengajar kuliah Politik Luar Negeri Australia Jurusan Ilmu Hubungan Internasional UGM.
Dalam presentasinya, Prof. John Murphy mengungkapkan mengapa mempelajari hubungan dan lebih jauh meningkatkan mutual relationship tersebut menjadi penting. Pertama, hubungan bilateral antara Indonesia dengan Australia ternyata sangat mempengaruhi proses politik domestik di Australia bahkan mencapai hampir setengahnya. Kedua, mengutip pendapat John Garnaut, Prof. Murphy berpendapat bahwa Indonesia dan Australia sebenarnya punya kemiripan terutama terkait masalah keluar dari sistem kolonial pun pascakolonial. Artinya, Indonesia dan Australia sudah sama-sama memiliki independensi dalam memerintah secara khusus dalam hal kebijakkannya dibanding beberapa puluh tahun sebelumnya. Untuk itu gesekan antara kedua negara secara tidak langsung akan membawa ‘kondisi seperti puluhan tahun sebelumnya’.
Di sisi yang lain, menurut pandangan Michael Bachelard, terutama pandangannya sebagai seorang jurnalis, ia berpendapat sebagai seorang jurnalis tentu harus punya sense lebih dalam melaporkan sebuah berita. Kehati-hatian tersebut merupakan bagian dari proses melaporkan berita supaya tidak dianggap melakukan intervensi karena ditulis oleh seorang jurnalis asing seperti dirinya. Meski demikian, menurut pria yang sudah tiga tahun tinggal di Indonesia ini, orang-orang Indonesia sangat terbuka jika sedang berbicara dengan seorang jurnalis berbeda dengan orang-orang di Australia.
Hampir mirip dengan Michael, Prodita Sabarini lebih menekankan masih minimnya orang Indonesia yang ahli tentang hubungan bilateral Indonesia-Australia terutama yang muncul di media. Sangat minim para Australianist dari Indonesia yang memiliki engagement dengan media. Hal ini menurut Prodita berimplikasi terhadap minimnya perspektif media dalam memberitakan hubungan Australia dan Indonesia. Dalam kesempatan tersebut, Prodita menyarankan bagi para akademisi tersebut untuk mamu membangun relasi dan bekerjasama dengan media terutama untuk informasi penting supaya perspektif berita menjadi variatif.
Sementara itu, menurut penilaian Dafri Agussalim, hubungan Indonesia dan Australia itu seperti fenomena roller coaster. Dalam pengandaian tersebut, hubungan Indonesia dan Australia mengalami dinamika yang begitu tinggi. Misalkan, pada isu A kedua negara nampaknya sepakat, namun pada isu B keduanya justru seringkali berseberangan. Hal ini, menurut Dafri harus dipahami lewat melihat latar belakang ideasional yang melatarbelakangi kedua negara. Terutama menurut Dafri, dari melihat Australia harus dilihat peta politik domestiknya. Dafri menggunakan penjelasan melalui konsep security complex yang digagas Barry Buzan untuk menjelaskan hubungan kedua negara.
Gagasan konsep security complex merupakan konsep yang digunakan untuk menjelaskan bahwa dalam sebuah hubungan negara memiliki dua sisi yakni persaingan dan kerjasama. Artinya, selain memiliki aspek yang diperjuangan bersama kedua negara tersebut memiliki sisi persaingan baik dalam hal domestiknya terutama kepentingan masyarakat negara masing-masing. Oleh karena itu, Dafri menyarankan bagi kedua negara untuk secara berkelanjutan meningkatkan hubungan terutama pada level paling dasar memahami dan mengerti baik antar pemerintah maupun masyakatnya. (D-OPRC)