Yogyakarta, 29 Oktober 2019—Ajak Pemuda Meningkatkan Awarness Terhadap Tindak Kekerasan, Yousure Adakan Diskusi Bertajuk Pemuda dan Krisis Ruang Aman: Urgensi Kesadaran dan Pengetahuan Kekerasan Berbasis Gender. Seberapa penting sih anak muda harus aware dengan isu kekerasan? Kekerasan dapat terjadi kapanpun, dimanapun, dan kepada siapapun. Dalam ranah privat contohnya adalah kekerasan dalam pacaran. Sedangkan, dalam ranah publik, seringkali banyak kasus kekerasan di transportasi umum, seperti menyentuh secara fisik (grepe).
Selasa lalu di Selasar Barat Fisipol UGM, dalam rangka menyemarakkan Hari Sumpah Pemuda, YouSure Pusat Studi Kepemudaan Fisipol mengadakan diskusi bertajuk Pekan Pemuda 2019, Pemuda dan Krisis Ruang Aman: Urgensi Kesadaran dan Pengetahuan Kekerasan Berbasis Gender. Diskusi ini diadakan dengan harapan dapat meningkatkan awareness terhadap kekerasan.
Diskusi ini dihadiri oleh Fitri Mayang Sari dari Hollaback Jakarta, dan Amelinda Pandu dari Feminis Yogya, penyintas kekerasan dalam pacaran sebagai pembicara. Diskusi ini membahas secara luas mengenai ranah atau krisis ruang aman bagi seseorang, dan beberapa tips menghadapi kekerasan baik sebagai “korban” maupun sebagai seseorang yang berada didekat korban. Dan diwakili dengan kasus kekerasan dalam pacaran dan kekerasan dalam ruang publik.
Pacaran merupakan suatu hal yang dekat dengan anak muda. Padahal, pacaran tidak selalu menciptakan ruang yang aman dari kekerasan. Faktanya pada tahun 2017, terdapat 1.873 kasus kekerasan dalam pacaran. Angka ini hanyalah angka yang tercatat secara formal, dan tidak menutup kemungkinan angka ini berjumlah lebih banyak. “Kekerasan dalam pacaran itu bukan hal yang lazim didengar oleh masyarakat Indonesia. Ketidaklaziman itu terkadang menyebabkan ‘korban’ merasa resah harus berlindung kemana” ujar Amelinda.
Amelinda bercerita banyak mengenai pengalamannya sebagai “korban” dari kekerasan dalam pacaran, serta membagikan tips apa yang harus dilakukan untuk menghadapi kekerasan itu dan memberikan pemahaman tentang sejauh mana seseorang harus mengenali “behaviour” yang menunjukkan tindakan abusive.
Terdapat tiga tahap seseorang dapat dikatakan abusive, menurut Amelinda, yaitu full of insecurity and overly jealous, have unrealistic expectation, dan berkata kasar. “Kalau pacar kalian sudah mulai seperti itu mulailah peka dan memetakan kembali apakah sebenarnya hubungan kalian itu baik baik saja atau tidak, lihatlah perbuatannya, jangan orangnya, dan segeralah pergi dari hubungan itu,” ujar Amelinda
Jika Amelinda sudah berbagi mengenai kekerasan dalam ranah privat, selanjutnya ada Fitri Mayang Sari, dari Hollaback Jakarta yang berbagi mengenai kekerasan dalam ranah publik. Hollaback adalah suatu gerakan global untuk mengakhiri tindakan pelecehan. Mereka berdiri dan bergerak didukung oleh aktivis. Fokusnya pada isu kesetaraan gender dan pengembangan masyarakat.
“Meningkatkan awareness masyarakat terhadap isu kekerasan serta memberikan pengetahuan mengenai bagaimana menghadapi harassment adalah tujuan kami,” ujar Fitri. Beberapa tipe kekerasan yaitu, kekerasan fisik, verbal, mental, ekonomi, dan digital. Untuk mengatasi hal tersebut Hollaback mengajak masyarakat untuk melakukan bystander effect.
“Tujuan dari kamu mengajak masyarakat untuk menjadi bystander effect adalah untuk menciptakan ruang yang aman, atau ruang untuk bercerita,” ujar Fitri. Fitri kemudian mengenalkan cara cara bagaimana menjadi bystander effect, yaitu dengan istilah 5D. “Kami biasa menyebutnya dengan 5D, yaitu direct, distract, delay, document, dan delegate,” uajr Fitri.
Sebagai seorang pengamat masyarakat diajak untuk memberikan peringatan secara langsung kepada pelaku, mengalihkan perhatian pelaku, menunda tindakan pelaku dengan mengajak calon korban berbicara, mendokumentasikan gerak gerik pelaku, dan/atau melaporkan tindakan tersebut kepada pihak yang berwenang. (/pnm)