Sejak disahkan dalam rapat pleno Dewan Perwakilan Rakyat pada tanggal 12 Februari 2018 silam, UU MD3 membawa gejolak pro dan kontra di kalangan masyarakat Indonesia, tidak terkecuali di jagat dunia maya. Dalam berbagai lini media sosial, perbincangan mengenai UU MD3 tersebut menjadi salah satu topik terhangat di kalangan warga net. Suara pun terpecah menjadi dua, ada yang mendukung, namun banyak pula yang menentang karena dianggap membuat lembaga legislatif menjadi tidak tersentuh.
Berdasarkan fenomena di atas, Center for Digital Society (CfDS) Fisipol UGM mengadakan penelitian tentang “Sentimen terhadap Isu UU MD3 di Twitter dan Portal Berita Daring.” Penelitian ini bertujuan untuk melihat reaksi dan opini masyarakat Indonesia terhadap polemik UU MD3 di jagat dunia maya.
“Ada tujuh portal media daring yang kami teliti. Selebihnya, kami juga menggali data dari Twitter karena visibilitas data yang lebih luas, serta karakteristik microblogging Twitter sehingga kicauan dapat merepresentasikan opini langsung dari pemilik akun.” Ujar Viyasa Rahyaputra, Executive Secretary CfDS FISIPOL UGM.
Adapun tujuh portal yang diteliti adalah CNN Indonesia, Kompas, Liputan 6, Kumparan, Merdeka, Sindo News dan Tribun News. Tujuh media ini dinilai memainkan peran yang baik karena mampu menghasilkan pemberitaan yang dengan sudut pandang yang bervariasi. Media memberikan porsi yang adil dengan mengundang narasumber dari partai politik dan latar belakang berbeda lainnya sehingga opini yang beredar menjadi beragam dan berimbang.
“Tokoh yang menyuarakan sentimen positif di media terhadap UU MD3 berusaha meyakinkan seluruh masyarakat bahwa UU ini tidak akan mematikan demokrasi dan memberi jaminan bahwa tidak ada upaya penangkapan atas kritik yang ditujukan kepada DPR.” Ujar Lamia, asisten peneliti Center for Digital Society. Ungkap Lamia Damayanti, research associate CfDS FISIPOL UGM.
Namun, secara agregat, sentimen berita yang menyebar di tujuh portal tersebut masih cenderung negatif dengan agregat hingga -180. Pendapat kontra terhadap isu UU MD3 banyak keluar dari mahasiswa, akademisi/praktisi hukum dan juga pegiat serta aktivis lembaga swadaya masyarakat. Sementara periode 13-15 Februari 2018 serta 14-15 Maret 2018 menjadi periode puncak pembicaraan mengenai UU MD3 di media daring.
Sementara itu di Twitter, ditemukan bahwa 69% kicauan yang berhasil dikumpulkan oleh tim peneliti memiliki sentimen negatif, dan hanya 2% kicauan yang pro terhadap UU MD3. Kemudian, hanya 43% kicauan yang mengandung opini dari pengguna twitter.
“Kebanyakan pengguna Twitter memberi sentimen negatif dan kritik yang sifatnya memojokkan UU MD3 sebagai produk hukum yang tidak tepat. Selain itu, temuan awal menunjukkan juga banyak pengguna yang menggunakan Twitter hanya untuk mengutip berita saja ketimbang menyuarakan opini mereka.” Viyasa menambahkan.
Perhatian pengguna Twitter terhadap isu ini semakin memuncak pada tanggal 13-14 Maret 2018, atau 30 hari sesudah UU MD3 disahkan dalam sidang paripurna DPR. Di samping itu, muncul empat tokoh politik nasional yang namanya kerap menjadi perbincangan di antara warganet Twitter dalam polemik UU MD3. Selain Presiden Joko Widodo, ada juga Menteri Hukum dan HAM Yasona Laoly, serta dua anggota DPR, Fahri Hamzah serta Fadli Zon. Untuk Presiden Joko Widodo, namanya terangkum dalam 1.07% data yang dikumpulkan oleh peneliti, atau setara dengan sekitar 500 tweets dan sentimen yang diberikan cenderung negatif sebagai bentuk kekecewaan warganet atas langkah Joko Widodo yang dinilai kurang cepat dalam merespon UU MD3 ini.
Selain dua temuan utama di atas, peneliti juga mengidentifikasi keberadaaan buzzes/noises di Twitter yang bisa dilihat dari beberapa karakteristik seperti identitas akun yang tidak jelas, sering mencatut sumber kabar yang kurang kredibel, dan gemar mengutip sumber kabar dan berita yang kontroversial. Menurut Viyasa dan Lamia, keberadaan akun-akun ini memang ditujukan untuk mengarahkan opini publik ke sebuah persepsi tertentu.
Karakteristik persebaran berita ini turut membantu maraknya persebaran berita palsu (hoax) dan ujaran kebencian di ranah media sosial Indonesia saat ini. Oleh karena itu, diperlukan sebuah upaya untuk meminimalisir kultur negatif tersebut untuk menghindarkan Indonesia dari bahaya perpecahan yang lebih lanjut dengan lebih bijak dalam berinternet.
“Bijak itu artinya kita bertanggungjawab terhadap apa yang kita tulis/unggah di internet. Rasa bijak itu bisa kita pupuk lewat pendidikan literasi digital. Selain itu, kita harus paham pula dengan kerangka menerima, memproses, mengolah dan menyebarkan informasi di internet yang bertanggung jawab agar tidak merugikan orang lain.” Tutup Viyasa.(rilis/CfDS)