Vedi Hadiz Beri Kuliah Umum Tentang Era Popular Discontent, Ketidakpuasan Masyarakat Terhadap Demokrasi

Yogyakarta, 24 September 2025—Prof. Vedi Hadiz, Professor Melbourne University asal Indonesia hadir sebagai tamu kehormatan dalam kuliah umum Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (Fisipol), Universitas Gadjah Mada. Kunjungannya pada Rabu (25/9) tersebut membahas bagaimana dunia telah memasuki era Popular Discontent, di mana ketidakpuasan masyarakat terhadap pemenuhan hak dan pelayanan menyebabkan kepercayaan terhadap institusi pemerintah dan sistem demokrasi semakin menurun.

Popular Discontent secara harfiah dimaknai sebagai “ketidakpuasan populer”, diterapkan untuk merepresentasikan perasaan tidak puas masyarakat yang banyak dipicu oleh masalah sosial, ekonomi, hingga politik. Vedi memulai kuliah umum dengan menyatakan bahwa demokrasi yang hadir saat ini jauh dari ekspektasi yang dimimpikan. Jika seharusnya demokrasi mampu mengakomodasi kepentingan publik, namun sekarang justru menimbulkan kesenjangan dan ketimpangan.

“Discontent memang ada hubungan langsung dengan perkembangan ekonomi global selama 40-50 tahun terakhir. Itu ada masa yang disebut liberalisasi global. Dunia semakin menyatu, kekayaannya memang lebih banyak, tapi konsentrasinya juga semakin besar,” ucap Vedi. Ia menyoroti bagaimana persaingan bebas pasar dunia mencerminkan kekuasaan negara-negara yang memengaruhi peran mereka di dalam politik global. 

Menurut Vedi, hal yang paling penting diperhatikan adalah bagaimana era neoliberalisasi ini menciptakan kesenjangan di masyarakat. Neoliberalisasi seolah memberikan harapan dan janji bahwa kekayaan semakin mudah didapat, ekonomi terus berputar, dan kesejahteraan akan terpenuhi. Namun yang terjadi justru sebaliknya. Roda ekonomi dan perputaran pasar semakin cepat, tapi laju tersebut justru membuat masyarakat merasa tertinggal. Pada akhirnya kesenjangan tetap terjadi dan semakin meluas.

Vedi memberikan persoalan sederhana di dalam fenomena masyarakat. Seseorang seringkali diajarkan untuk memperbaiki dan meningkatkan kemampuan diri untuk bisa memperbaiki dunia. Tapi pada kenyataannya, memenuhi kebutuhan pokok diri sendiri saja sulit apalagi memperbaiki diri. “Sulit kalau hanya melihat gambaran besarnya saja, kita harus melihat apa yang terjadi secara nyata dihadapi masyarakat,” tambahnya.

Berdasarkan data memang masyarakat Indonesia mengalami peningkatan jenjang pendidikan secara signifikan. Dari yang awalnya masih memiliki angka buta huruf yang tinggi, hingga saat ini didominasi oleh lulusan perguruan tinggi. Namun persoalan yang luput adalah apakah hasil pendidikan tersebut mampu membantu seseorang untuk mengembangkan kemampuan dan meningkatkan taraf hidupnya.

“Saya bilang social discontent ini terakumulasi dari masyarakat yang merasa tertinggal dan dibohongi oleh neoliberalisme dan modernisasi. Ini tidak terjadi secara tiba-tiba. Dan sekarang yang paling terdampak adalah anak muda,” ucap Vedi. Ia kembali mencontohkan bagaimana sulitnya anak muda untuk bisa membeli rumah, mencari pekerjaan dengan upah yang layak, maupun mengakses fasilitas kesehatan yang terjangkau. Hal-hal yang tidak seharusnya terjadi apabila sistem berjalan secara baik dengan mengedepankan kepentingan masyarakat.

Kuliah bertajuk “Masa Depan Demokrasi di Era Popular Discontent” memberikan gambaran besar terhadap tantangan negara demokrasi di era ketidakpuasan masyarakat terhadap sistem. Masyarakat adalah ide dan nafas utama dalam demokrasi yang memegang kekuasaan tertinggi. Sayangnya, demokrasi yang terjadi justru menjadikan masyarakat sebagai objek kebijakan dengan mengabaikan pemenuhan hak-hak dan penyalahgunaan kepentingan. Seluruh perasaan tersebut menciptakan ketidakpercayaan terhadap sistem. Menghasilkan anggapan bahwa siapapun yang menduduki kursi pemerintahan maka tidak ada yang berubah di dalam kehidupan masyarakat. Vedi menganggap, bentuk nyata popular discontent ini tentunya patut untuk direfleksikan. (/tsy)