Webinar Damai Pangkal Damai : “Barangsiapa Meninggalkan Kekerasan…”

Yogyakarta, 30 April 2021- Menurut pangkalan data Damai Pangkal Damai (DPD), tercatat lebih dari empat belas ribu aksi nirkekerasan yang terjadi di Indonesia sejak 1999. Berdasarkan data ini, DPD bersama Institute of International Studies (IIS) Fisipol UGM mengadakan Webinar Perlawanan Nirkekerasan di Indonesia bertajuk ”Barangsiapa meninggalkan kekerasan…” pada Jumat (30/4) lalu. Acara tersebut menghadirkan perwakilan dari gerakan dan organisasi di Indonesia yang mengandalkan strategi perlawanan nirkekerasan. Narasumber yang hadir adalah Maria Catarina Sumarsih sebagai perwakilan Aksi Kamisan, Djuwita Djatikusumah dari kelompok masyarakat adat Sunda Wiwitan, dan Gendis Syari yang mewakili Gejayan Memanggil. Dalam kesempatan ini, Dr. Diah Kusumaningrum selaku dosen Departemen Hubungan Internasional Fisipol UGM hadir sebagai moderator.

Mengawali webinar tersebut, Sumarsih menceritakan tentang Aksi Kamisan yang sudah berlangsung selama 677 minggu. Inisiatif aksi tersebut berangkat setelah anaknya, Bernardinus Realino Norma menjadi korban Tragedi Semanggi I tahun 1998. Keluarga korban tragedi tersebut bergabung dalam Aksi Kamisan untuk menuntut keadilan substantif secara hukum. Menurut Sumarsih, Aksi Kamisan yang dilaksanakan dengan berdiam diri di depan Istana Negara tersebut bukan berarti mereka kehilangan hak, tetapi menunjukkan diri sebagai warga negara yang menuntut keadilan dengan tertib. “Istana Negara dipilih sebagai lambang kekuasaan. Hari Kamis pukul empat sore dipilih karena saat itulah lalu lintas ramai, orang-orang pulang kantor. Masing-masing dari kami juga membawa payung hitam,” terang Sumarsih.

Narasumber kedua yaitu Djuwita Djatikusumah menceritakan pengalamannya sebagai pendamping masyarakat adat Sunda Wiwitan. Dalam sesinya, Djuwita menyatakan bahwa hak-hak sipil masyarakat adat dan penghayat kepercayaan belum dipenuhi, dan belum mendapatkan payung perlindungan hukum. Salah satu kasus yang terjadi adalah eksekusi dan perampasan makam keluarga Sunda Wiwitan di Cigugur, Kuningan, Jawa Barat. Makam tersebut sempat diisukan sebagai tempat pemujaan kemudian disegel dan terancam ditutup. Djuwita mengatakan, “Massa datang untuk menolak dibangunnya makam. Mereka menuntut adanya IMB”.

Strategi perlawanan nirkekerasan sendiri dilakukan Djuwita melalui kesenian yang diajarkan pada anak-anak. “Saya menguatkan anak-anak, menggiring mereka ke situasi yang tegar, bahagia, dan percaya diri. Mereka bergerak melalui tarian, batik, dan karya seni lain untuk dipentaskan,” terangnya. Aksi nirkekerasan lewat karya seni tersebut salah satunya dilakukan di Mahkamah Konstitusi sembari menyampaikan keresahan dan ketidak adilan.

Sesi terakhir disampaikan oleh Gendis Syari yang berkecimpung dalam aksi Gejayan Memanggil. Menurutnya, ada dua interseksi isu yang dibawa dalam aksi, yaitu keberpihakan pembangunan negara dan isu politik pasca Pemilihan Umum 2019. “Ada oposisi yang biner antara pendukung dua calon Presiden kala itu. Gejayan Memanggil berkeinginan menghadirkan gerakan sipil baru di luar polar tadi dan membuat narasi perlawanan terhadap isu keberpihakan pembangunan,” tutur Gendis. Ia juga menyampaikan tentang banyaknya tuduhan tentang aksi yang ditunggangi.

Menutup acara webinar, Diah Kusumaningrum selaku moderator menyatakan kesamaan antar tiga gerakan nirkekerasan yang hadir sore itu. “Ketiganya menyeimbangkan antara perlawanan dengan kedamaian,” pungkasnya. (/tr)