Yogyakarta, 10 Juni 2022─Fisipol Crisis Center (FCC) Fisipol UGM menyelenggarakan Webinar Series #8 bertajuk “Adult Survivors of Child Sexual Abuse” pada Jumat (10/6). Acara yang berlangsung melalui Zoom Meeting ini mengundang praktisi dari Yayasan Pulih, Yosephine Dian Indraswari.
Yayasan Pulih adalah lembaga sosial yang bergerak dalam penanganan trauma dan psikososial pada kasus kekerasan dan bencana alam yang menimpa perempuan dan anak. Berdasarkan data dari Yayasan Pulih, kekerasan seksual pada anak meningkat selama pandemi. Sebelumnya, kasus terbanyak yang ditangani sebelum pandemi adalah kekerasan dalam rumah tangga, kekerasan seksual yang menimpa dewasa, dan kekerasan dalam pacaran.
“Tetapi sejak masa pandemi menjadi bergeser, pertama tetap korban KDRT, kedua kekerasan seksual yang menimpa dewasa, dan ketiga kekerasan seksual pada anak. Tidak hanya anak perempuan tapi anak laki-laki juga ada,” ungkap Dian.
Aspek penting dalam kekerasan seksual adalah tidak adanya consent (persetujuan) dari korban. Namun demikian, hal itu tidak berlaku pada anak dan juga individu dengan disabilitas intelegensi yang dianggap tidak/belum mampu memberikan persetujuan.
“Kalau kasusnya menimpa pada anak itu berarti termasuk kekerasan seksual karena tidak ada consent, meskipun pelaku mengatakan bahwa anak ini suka sama suka, dia tetap tidak bisa dikatakan memberikan persetujuan karena masih di bawah umur,” kata Dian.
Dian mengatakan, anak yang mengalami kekerasan seksual cenderung akan merasa bersalah karena memiliki perspektif yang berbeda terhadap persoalan itu. Anak pada umumnya tidak paham apabila dirinya mengalami kekerasan seksual, ia justru akan takut jika orang tuanya akan marah/sedih. Di samping itu, pelaku seringkali mengancam baik pada anak atau sesuatu yang disayangi anak, dan anak tidak bisa menolak terlebih jika pelaku adalah orang terdekat/dikenal.
Dian menambahkan, dampak pelecehan seksual setidaknya secara tidak langsung berasal dari bagaimana masyarakat memandang kejadian tersebut. Pada kasus ini, masyarakat seringkali memusatkan perhatian bukan pada tindakan kekerasan atau pelakunya, tetapi pada perilaku seksualnya yang justru hal itu semakin membebani korban.
“Kita harus berhati-hati berhadapan dengan kasus kekerasan seksual supaya tidak menimbulkan stigma atau bias dan bahkan victim blaming terhadap penyintas. Masyarakat sebetulnya bisa memahami korban dengan tidak terlalu ‘kepo’ dan bertanya-tanya, dengan itu setidaknya anak bisa merasa bebas dari rasa bersalah karena itu yang cukup berat,” kata Dian.
Lebih lanjut, korban kekerasan seksual seringkali diam dikarenakan merasa syok, malu, trauma, bingung, khawatir dan takut pada respon lingkungan. Dalam kasus ini, anak mengalami freeze atau membeku karena ia belum bisa memaknai dan mengerti apa yang sedang terjadi pada dirinya. (/WP)