Yogyakarta, 1 Oktober 2020‒Gangguan mental bisa dialami siapa saja, tak terkecuali mahasiswa. Sadar akan perlunya dukungan dosen atas kesehatan mental mahasiswa, Career Development Centre (CDC) Fisipol, UGM, menggelar Workshop Kesehatan Mental mengenai “Peran Dosen dalam Mendukung Kesehatan Mental di Lingkungan Kampus Fisipol UGM”. Dosen Fakultas Psikologi UGM, Muhana Sofiati Utami, menjadi pemateri, sedangkan psikolog di CDC Fisipol UGM, Dina Wahida, menjadi moderator dalam acara yang diikuti oleh belasan staf pengajar Fisipol UGM ini.
“Mahasiswa biasanya mengalami gangguan mental seperti cemas, depresi, prokrastinasi, dan ketergantungan,” kata Muhana. Menurut dia, kecemasan dengan kadar yang cukup sebenarnya dapat menumbuhkan motivasi terhadap individu. Namun, jika berlebihan, kecemasan dapat menyebabkan seseorang memiliki kepercayaan diri yang rendah hingga selalu berpikir bahwa hal buruk akan terjadi kepada dirinya. Lebih jauh lagi, mahasiswa bisa juga mengalami depresi, mulai dari gangguan mood hingga upaya bunuh diri. Depresi bisa disebabkan karena perasaan seseorang yang merasa sangat diremehkan, tidak berharga, sangat bersalah, hingga merasa sangat kehilangan.
Kemudian, Muhana menuturkan, mahasiswa juga sering melakukan prokrastinasi atau menunda-nunda mengerjakan tugas. Dia pun mengakui bahwa terkadang dosen juga melakukannya. Realitanya memang banyak orang menunda-nunda pekerjaan karena asik mengerjakan hal lain. Selain itu, ia juga menemukan bahwa banyak mahasiswa yang mengalami ketergantungan internet. Ketika membuat survei di kelasnya, Muhana mendapat banyak jawaban dari mahasiswa bahwa mereka bisa menghabiskan waktu berjam-jam di depan gadget. “Ada yang menonton drama korea, bermain games, dan membuka internet sampai berjam-jam sehingga tidak bisa mengerjakan hal lain,” tutur Muhana. Dia menambahkan, ketergantungan lebih ektrim pada anak muda yakni ketergantungan pada rokok, minuman keras, dan obat-obatan terlarang.
Muhana menjelaskan bahwa ciri individu yang mentalnya sehat adalah mampu menjalin hubungan yang positif dengan orang lain, senang membantu dan dibantu orang lain, serta bertanggung jawab. Selain itu, individu yang sehat juga dapat menghargai dirinya, tidak membandingkan diri dengan orang lain, serta melakukan pekerjaan sesuai dengan bakat dan keadaan dirinya. Dia mengatakan, ada mahasiswa yang memaksakan diri untuk melakukan hal yang tidak sesuai kemampuannya, karena membandingkan pencapaian orang lain. Padahal, imbuh Muhana, setiap orang memiliki bakat masing-masing. “Kalau kita bisa melakukan pekerjaan sesuai potensi kita, maka kita bisa memperoleh hasil yang baik,” terangnya.
“Mahasiswa Fisipol sudah menyadari tentang kesehatan maupun gangguan mental, namun kebanyakan dari mereka mendiagnosa dirinya sendiri,” kata Dina Wahida. Psikolog CDC ini mengatakan, adanya CDC di Fisipol UGM menumbuhkan kesadaran mahasiswa mengenai pentingnya kesehatan mental. Namun, di sisi lain, beberapa mahasiswa memanfaatkan layanan psikolog CDC untuk memenuhi kebutuhan akademik mereka. Menanggapi hal ini, Muhana mengatakan bahwa hal serupa juga dia temui di Gadjah Mada Medical Center. Dia menjelaskan, ada mahasiswa yang mendiagnosa dirinya sendiri dan ternyata benar, namun banyak juga yang ternyata salah. Muhana menuturkan, psikolog CDC dan dosen Fisipol perlu memahami kondisi mahasiswa yang mengaku memiliki gangguan mental. Dia menyarankan agar psikolog CDC Fisipol memastikan apakah mahasiswa itu betul-betul memiliki gangguan mental atau hanya berpura-pura.
Melanjutkan pertanyaan dari Dina, Lisa Lindawati, Dosen Departemen Ilmu Komunikasi (Dikom), juga menanyakan cara dosen menghadapi mahasiswa yang mengaku memiliki gangguan mental. Muhana menyarankan agar sebaiknya dosen mendengarkan cerita dari mahasiswa tersebut terlebih dahulu. Namun, lanjut dia, bukan berarti dosen akan menyelesaikan masalah dari mahasiswa. Muhana mengatakan, dosen yang mau mendengarkan masalah‒yang mempengaruhi akademik‒mahasiswa sebenarnya telah membantu meringankan beban mahasiswa tersebut. Sebab, mahasiswa merasa didengar dan membuat dia bisa menentukan langkah-langkah untuk menyelesaikan masalahnya. “Kalau dosen tidak mampu, dosen bisa merujuk mahasiswa tersebut kepada yang lebih berwenang, misalnya psikolog CDC,” terang Muhana.
“Ketika mengerjakan skripsi, mahasiswa terlihat sangat kompetitif. Ada yang termotivasi, namun ada juga yang merasa tertekan,” tutur Jusuf Wahyuono. Staf pengajar di Dikom yang pernah menjadi tutor skipsi ini bertanya mengenai cara menjadi tutor skripsi yang baik dalam mendampingi mahasiswa di kondisi tersebut agar mahasiswa tetap semangat. Menurut Muhana, dosen atau tutor skripsi perlu menumbuhkan situasi yang kondusif, artinya membuat mahasiswa bisa saling membantu dan menyemangati. Dia menambahkan, dosen atau tutor skripsi juga bisa mendorong teman-teman dari mahasiswa yang merasa terpuruk agar menyemangatinya. Namun, dosen atau tutor skripsi juga harus memahami bahwa setiap orang memiliki tipe kepribadian yang berbeda, sehingga dapat memperlakukan mahasiswa dengan tepat. (/NIF)