Pada aspek daya penetrasi, Heychael mengungkapkan bahwa televisi nyatanya masih menempati peringkat tertinggi di Indonesia, yakni 96%. Internet, meskipun dengan tren yang terus meningkat akibat peningkatan infrastruktur, justru masih menempati urutan ketiga. Penggunaan internet justru dominasi dengan fungsi dual user, yaitu penggunaan untuk menonton video/televisi digital seperti Youtube dan Vimeo.
Fakta-fakta ini, menurut Heychael lantas membuktikan asumsi bahwa internet merupakan media terpenting dalam hidup masyarakat Indonesia masa kini. Sebaliknya, tren penggunaan internet yang terus naik membuat kepercayaan publik terhadap media konvensional seperti televisi, menurun. Hal ini menurut Heychael tak terlepas dari polarisasi kepercayaan terhadap media, dimana publik meyakini bahwa setiap kanal media televisi dikuasai atau mendukung golongan politik tertentu. Sehingga akhirnya, keputusan masyarakat untuk “mengkonsumsi” dan mempercayai informasi dari kanal tersebut pun terpolar, dan akan sangat bergantung pada pilihan politiknya masing-masing.
“Bahkan ketika media televisi tersebut semula tidak mendukung golongan politik apapun, kepentingan ekonomi bisa saja memaksa mereka untuk berpihak dan bias dalam pemberitaannya,” kata Heychael.
Selain itu, menurunnya kepercayaan pada media konvensional juga disebabkan oleh hilangnya peran jurnalisme dan media sebagai “penjaga pintu informasi” itu sendiri. Sedangkan melalui internet, informasi dapat diakses tanpa satu pintu tertentu. Setiap orang, bahkan juga bisa menjadi media itu sendiri, melalui penyebaran informasi yang dapat dilakukan dengan mudah melalui media sosial.
Namun demikian, fenomena tersebut juga bisa berdampak buruk bagi masyarakat secara luas. Penebalan ideologi dari efek Eco Chamber akibat algoritma media sosial, hingga runtuhnya wacana “kebenaran” yang disebabkan mudahnya penyebaran hoax, menurut Heychael menjadi dua implikasi buruk dari peningkatan tren penggunaan media digital yang kini sudah dapat dirasakan.
Lebih lanjut, perpaduan politik dan infotainment atau Politainment, juga semakin memperkeruh hubungan kompleks antara media dan jurnalisme dengan politik di Indonesia. Konten politik yang diberikan media saat ini bukanlah mengenai kerja pemerintah, tetapi justru berfokus pada hal-hal intermeso untuk mengemas citra politisi yang diinginkan.
“Akhirnya, produk media bukanlah kejujuran, melainkan citra. Keputusan politik masyarakat akan berdasarkan pada empati pada citra politisi di media; masyarakat bukan lagi warga negara, melainkan penikmat sandiwara,” kata Heychael.
Hecyhael meyakini bahwa literasi informasi sejak dini, serta kemampuan untuk menjadi “wartawan” dalam menyaring informasi yang ada, dapat menjadi solusi dari beberapa dampak negatif tersebut. Pemerintah juga dapat turut andil, bukan untuk menjadi “penentu kebenaran”, tetapi melalui otoritasnya dalam membentuk regulasi atau “aturan main” dari media di Indonesia.
Pada sesi diskusi, beberapa pertanyaan menarik terkait kewenangan berlebih pemerintah dalam media, peran crowd journalism, hingga posisi Remotivi sebagai pengamat media Indonesia pun disampaikan oleh peserta. Setelah sesi foto bersama, acara pun resmi ditutup pada pukul 17.00 WIB. (/sno)