BRICS: Tantangan dan Impelementasi bagi Indonesia?

Fisipol UGM mendapatkan kunjungan dari Dr. Anand Prathivadi Bhayankaram, seorang reader di Environmental Economics and Public Policy Univeristy of Bradford pada Senin (29/10/2018).

Dalam kunjungan kali ini, Global Engagement Office Fisipol UGM mengadakan kuliah umum yang berlokasi di Ruang Sidang Dekanat Fisipol UGM. Kuliah umum yang juga dihadiri oleh mahasiswa asing ini bertajuk “BRICS and Emerging Economies and Implications for Indonesia”.

Istilah BRICS mungkin masih terdengar asing bagi sebagian khalayak umum. BRICS merupakan akronim dari sebuah asosiasi lima negara, yakni, Brazil, Russia, India, China, dan Afrika Selatan. Kelima negara ini memiliki pertumbuhan ekonomi yang pesat dengan angka Gross Domestic Product yang meningkat dengan cepat dan dipercaya akan menjadi motor perekonomian dunia terbesar di tahun 2050.

Anand mengatakan, hubungan antar negara dalam BRICS tidak terbatas pada suatu hal tertentu. Anand menganggap BRICS sebagai salah satu alternatif institusi multilateral tanpa adanya batasan geografis, sejarah, budaya, atau demokrasi.

“Tidak ada batasan geografi antar negara, kami juga hanya memiliki sedikit sejarah yang sama, tidak ada kesatuan budaya antar negara, dan kami memiliki perbedaan mengenai demokrasi,” kata Anand.

Meskipun BRICS berperan signifikan dalam perekonomian global, menurut Anand, BRICS masih menghadapi berbagai tantangan dan masalah. Pertama adalah permasalahan mengenai kemiskinan ekstrim. Meskipun sudah mengalami penurunan tetapi hal ini masih menjadi isu. Tantangan kedua yaitu tingginya kesenjangan ekonomi di beberapa negara. Anand mengatakan, tantangan ketiga adalah angka harapan hidup yang meningkat dengan sangat lamban.

“Angka harapan hidup yang berprogres sangat lambat menunjukkan seluruh pertumbuhan ekonomi ini sayangnya tidak terwujud dalam bentuk kualitas hidup,” kata Anand.

Tantangan selanjutnya adalah ketidaksetaraan gender yang masih terlihat dalam kualitas kehidupan. Menurut Anand, ketidaksetaraan gender merupakan permasalahan yang sangat penting karena yang dilihat bukanlah yang kaya atau miskin, namun lebih pada unsur ‘siapa’nya. Ia mengatakan semakin bertumbuhnya ekonomi, ketidaksetaraan gender justru semakin buruk.

“Terakhir, angka kematian yang masih tinggi khususnya bagi India dan Afrika Selatan,” kata Anand.

Selain tantangan, Anand juga menjelaskan mengenai kesempatan yang dimiliki oleh BRICS. Menurut Anand, BRICS dapat menjadi alternatif dari G20. BRICS juga muncul sebagai model insititusi baru dengan hadirnya New Development Bank yang digagas oleh negara anggota BRICS. Selain itu, BRICS juga menawarkan jenis kerjasama ekonomi global yang berbeda.

“BRICS menawarkan kerjasama yang lebih inklusif dengan adanya pemahaman multikultural,” kata Anand.

Dalam implementasinya bagi Indonesia, menurut Anand, tidak ada satu cara tertentu yang benar-benar sesuai dengan pendekatan kepada perkembangan ekonomi suatu negara. Anand kemudian menawarkan beberapa strategi yang ia ambil dari BRICS.

Strategi pertama yaitu penghematan dan investasi. Selanjutnya, Anand juga menyarankan untuk memiliki kebijakan yang lebih inklusif dengan tujuan menghapuskan kemiskinan ekstrim. Menurut Anand, Indonesia juga perlu membangun institusi dan hubungan multilateral di luar ASEAN.

“Apa yang dilakukan Indonesia saat ini sudah cukup baik, tetapi masih membutuhkan lebih dari itu,” kata Anand. (hsn).