Diskusi IIS: Perempuan dalam Kontingen Garuda  

 

Yogyakarta, 31 Agustus 2018-Institute of International Studies (IIS) Universitas Gadjah Mada mengadakan diskusi bulanan bertajuk Di Manakah Perempuan? Bias Gender dalam Kontingen Garuda pada Jumat (31/8). Diskusi yang berlokasi di Gedung BA 503 FISIPOL UGM ini mengundang Ayu Diasti Rahmawati, MA, sebagai pembahas dan Angganararas Indriyosanti, Raras, sebagai pembicara. Ayu merupakan peneliti sekaligus dosen dari Departemen Ilmu Hubungan Internasional UGM, sedangkan Raras merupakan peneliti di IIS.

Diskusi kali ini membahas mengenai jumlah perempuan di Kontingen Garuda dalam Peace Keeping Operation (PKO) yang dianggap masih sangat minim. Raras mengungkapkan bahwa Indonesia merupakan pemasok kontingen PKO terbesar di Asia Tenggara, sayangnya, jumlah wanita di Indonesia dianggap masih belum singnifikan. Indonesia mulai mengirim personil perempuan untuk PKO itu sendiri pada tahun 2008.

Raras memaparkan bahwa jumlah personil perempuan dalam PKO di seluruh dunia memang tidak seimbang dengan laki-laki. Sejak tahun 2000, jumlah personil perempuan hanya bertambah sebanyak 3,4% dari seluruh personil PKO di dunia.

“Untuk Indonesia sendiri, jumlah personil perempuan dalam PKO tidak sampai 1%, jadi jika Indonesia mengirim 100 personil, 1 orang diantaranya mungkin perempuan,” kata Raras.

Menurut Raras, ketimpangan jumlah personil perempuan dan laki-laki pada PKO berangkat dari anggapan bahwa hal-hal terkait keamanan dan peace keeping tidak memiliki relevansi dengan keberadaan perempuan. Keamanan dan peace keeping dianggap termasuk ke dalam sektor maskulin yang berasal dari nilai-nilai yang dekat dengan kekerasan, hirarki, kekuatan, dan senjata. Raras menambahkan, meskipun saat ini jumlah personil perempuan sudah ditambah dalam PKO, tetapi perempuan belum memiliki peran yang jelas.

Dalam proses memilih personil perempuan untuk Kontingen Garuda, Raras menjelaskan bahwa Indonesia memiliki sistemnya sendiri. Indonesia baru membuka akademi militer untuk taruna perempuan pada tahun 2013. Menurut Raras, sistem Indonesia dalam menunjuk perempuan untuk Kontingen Garuda masih belum memberikan kesempatan yang cukup bagi tentara perempuan.

Raras memaparkan bahwa masih banyak halangan bagi personil perempuan. Pertama, perempuan belum memiliki akses yang cukup untuk langsung turun ke wilayah konflik. Bahkan, perempuan yang diturunkan untuk PKO sendiri ditunjuk oleh unit mereka, bukan dipilih berdasarkan rekrutmen terbuka.

“Jadi perempuan tidak memiliki kesempatan untuk memutuskan sendiri apakah mereka ingin mendaftar jadi pasukan Garuda atau tidak, perempuan yang dianggap pantas maka dia lah yang berangkat,” jelas Raras.

Selain itu, perempuan yang akan berangkat menjadi Kontingen Garuda juga harus mendapatkan konsen dari suaminya. Raras mengatakan bahwa peraturan ini hanya dapat ditemui di Indonesia dan peraturan ini tidak diterapkan untuk personil laki-laki.

“Alasan pemerintah Indonesia membuat peraturan ini adalah mereka masih memberikan konseridasi kepada nilai sosial yang dominan bahwa perempuan memiliki peran dalam keluarga yang tidak dapat digantikan oleh orang lain dan dapat berdampak kepada keadaan keluarga itu sendiri atau pada perkembangan anak,” tutur Raras.

Selanjutnya, Indonesia juga tidak mengirimkan perempuan ke semua misi dimana Indonesia menjadi kontributor pasukan. Indonesia hanya mengirimkan perempuan ke misi-misi yang dianggap aman. Raras menambahkan, jika misi ini kemudian berubah menjadi berbahaya, maka Indonesia dapat menarik personil perempuan dari misi tersebut.

Terakhir, perempuan yang sudah menjadi kandidat PKO dapat gagal berangkat karena terbentur oleh permasalahan seperti kurangnya kemampuan berbahasa Inggris. Permasalahan ini tidak hanya ditemukan pada personil perempuan namun pada personil Indonesia secara keseluruhan.

Raras kemudian melanjutkan dengan memaparkan hal-hal yang dapat dilakukan untuk meningkatkan gender mainstreaming dalam pasukan PKO Indonesia. Pertama yaitu membuka kesempatan bagi seluruh personil perempuan untuk menjadi bagian dari pasukan PKO Indonesia. Raras juga mengusulkan untuk membuat kebijakan-kebijakan yang spesifik terkait dengan rekrutmen. Menurut Raras, perempuan seharusnya memiliki hak untuk mengambil keputusan sendiri. Dalam rangka meningkatkan kemampuan berbahasa Inggris, Raras menganggap pemerintah dapat memberikan pelatihan khusus baik bagi personil laki-laki maupun perempuan.

Dalam menanggapi pembahasan yang dipaparkan Raras, Ayu kemudian menyampaikan tanggapannya. Menurut Ayu, terdapat beberapa hal yang perlu ditanyakan dan dieksplorasi lebih lanjut. Pertama apakah memang dengan jumlah perempuan yang ada di pasukan Garuda memang sudah cukup jumlahnya dan apakah jumlah personil perempuan dan laki-laki yang seimbang akan menambah efektivitas bagi Kontingen Garuda.

Ayu kemudian menceritakan bahwa di wilayah konflik, perempuan kerap kali menjadi sasaran kekerasan yang menyebabkan posisi perempuan menjadi rentan. Di sisi lain, sistem yang masih berlaku di Indonesia sendiri cenderung masih pada sistem patriarkal, sehingga menurutnya menambah jumlah personil perempuan saja tidak cukup. Tetapi, diperlukan konstruksi ulang seputar persoalan mengenai gender.

Gender mainstreaming tidak bisa disamakan dengan gender balancing atau menyamakan jumlah laki-laki dan perempuan, tetapi kita memerlukan sebuah konstruksi gender yang lebih peaceful,” kata Ayu. (/hsn)