[RILIS] Hadapi Polikrisis Demokrasi, FISIPOL UGM Luncurkan Buku dan Ajak Rawat Harapan

Yogyakarta, 10 November 2025─Menjawab tantangan krisis multidimensi yang dihadapi demokrasi Indonesia, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Gadjah Mada (FISIPOL UGM) meluncurkan buku ‘Polikrisis Demokrasi: Neraca Kasus Indonesia’. Peluncuran yang bertepatan dengan momentum Hari Pahlawan, 10 November 2025, ini menjadi penegasan tanggung jawab kampus untuk memantik refleksi dan menavigasi arah perubahan bangsa.

Buku Polikrisis Demokrasi: Neraca Kasus Indonesia merupakan karya bunga rampai yang memotret dinamika demokrasi dari tiga perspektif: institusional, masyarakat, dan disrupsi teknologi. Karya ini menegaskan kepedulian intelektual dan tanggung jawab moral FISIPOL UGM dalam situasi demokrasi yang makin kehilangan makna substantifnya. Perspektif institusional menyoroti bagaimana pemilu yang terus berlangsung secara reguler justru kerap diperdaya menjadi instrumen bagi elite untuk mengukuhkan kekuasaan, termasuk melalui rekayasa regulasi dan aturan main. Lembaga perwakilan kehilangan marwahnya, politik patronase kian mengakar, populisme tumbuh dari ketidakpercayaan pada sistem, sementara ruang partisipasi publik semakin menyempit di tengah
maraknya disinformasi di ruang digital. Tidak hanya itu, demokrasi juga luput mengintegrasikan isu-isu penting seperti lingkungan hidup sebagai bagian dari indikator kualitas demokrasi (Hanif, sebagaimana tercantum dalam Bab 4 buku).

“Dalam masa polikrisis, tugas kampus bukan hanya membaca krisis, tetapi juga memantik imajinasi perubahan,” ujar Dekan FISIPOL UGM, Wawan Mas’udi. “FISIPOL UGM berkomitmen menjadikan ilmu pengetahuan sebagai kekuatan yang dapat menavigasi moral bangsa. Hari Pahlawan, oleh
karenanya, tidak semata momen tahunan yang diperingati secara seremonial. Hari ini mengingatkan kita tentang pentingnya menunjukkan keberanian untuk melihat, merefleksi capaian demokrasi sekaligus mendiskusikan dan mengapresiasi langkah-langkah kecil di tengah berbagai keterbatasan,” ujarnya.

Di tengah situasi tersebut, masih tumbuh inisiatif-inisiatif dari akar rumput yang patut diapresiasi. “Gerakan akar rumput dapat menjadi oase yang menjaga harapan bagi keberlangsungan demokrasi dari bawah. Gerakangerakan ini memperjuangkan hak-hak sipil, akses terhadap keadilan sosial, serta peningkatan kesejahteraan masyarakat yang terpinggirkan,” tulis Ikhwan, Itriyati, dan Maulana (Bab 10). Menguatnya gerakan masyarakat sipil, tumbuhnya kesadaran kritis warganet, serta munculnya inisiatifinisiatif demokrasi dari bawah menandai bahwa demokrasi Indonesia masih hidup—meski terus diuji.

Sejalan dengan itu, media sosial turut menghadirkan ruang baru bagi praktik demokrasi. Ia menjadi sarana edukasi politik, mobilisasi publik, dan kritik terhadap pemerintah—terlepas dari berbagai tantangan yang menyertainya (Kurnia, Utami, & Aini, Bab 11).

Bagi FISIPOL UGM, demokrasi yang sehat tidak hanya bergantung pada kompetisi elektoral, tetapi juga pada kekuatan refleksi dan partisipasi publik yang bermakna. Oleh karena itu, demokrasi inklusif yang diusung buku ini bukan semata-mata konsep, melainkan arah praksis bagi perguruan tinggi untuk menghidupkan kembali semangat deliberatif, kritis, dan empatik di ruang publik.

Diskusi buku ‘Polikrisis Demokrasi’ ini secara simbolis membuka Research Week FISIPOL 2025, sebuah perhelatan ilmiah tahunan yang kali ini secara khusus dirancang untuk menjawab tantangan demokrasi. Dengan tema besar yang mengusung demokrasi inklusif, 85 karya riset dan pengabdian
masyarakat yang ditampilkan akan menunjukkan bagaimana kampus secara nyata berkontribusi pada solusi atas problem-problem sosial dan politik bangsa.

Tahun ini, Research Week dikelola secara tematik, untuk memperlihatkan keterhubungan antara kerja ilmiah kampus dan pengabdian kepada masyarakat. Dalam kegiatan tematik ini, karya mahasiswa juga
mendapatkan tempat di tengah karya-karya penelitian dan pengabdian kepada masyarakat yang dihasilkan oleh dosen dan peneliti pusat-pusat kajian di Fisipol, sebagaimana dapat dilihat pada tautan jadwal dan abstrak yang dapat diakses oleh publik: http://ugm.id/RW2025

“Kampus tidak boleh menjadi menara gading di tengah krisis. Ilmu pengetahuan harus berpihak pada kemanusiaan. Kami ingin menegaskan bahwa masa depan bangsa ini dapat ditulis ulang, selama kita memiliki keberanian untuk berubah dan berpegang pada keadilan,” tutup Wawan.