Land reform sebagai sebuah kebijakan yang dibuat pasca kemerdekaan nyatanya tidak mulus dalam implementasinya. Banyak konflik sosial yang terjadi di masyarakat, karena banyak aturan yang dilanggar oleh kelompok-kelompok elit. Pada akhirnya, masyarakatlah yang paling banyak berjuang untuk mendapatkan keadilan atas masalah ketimpangan pemilikan tanah. Selasa (10/10), bertempat di Lobby Magister Administrasi Publik, Fisipol Unit 2, Sekip, MAP Corner Klub MKP UGM melaksanakan diskusi dengan tema “Kontra Land Reform dan Ketimpangan Agraria”. Dalam diskusi ini, bahan sekaligus materi yang digunakan adalah hasil penelitan Ahmad Nashih Lutfi yang berjudul “Menyediakan Tanah Petani; Kekerasan dan Kontra Land Reform Pasca ‘65 di Banyuwangi, Jawa Timur”.
Pemateri dalam diskusi ini adalah Arif Novianto yang menggantikan Ahmad Nashih Lutfi karena berhalangan hadir. Sebelum menuju inti pembahasan, Arif terlebih dahulu menyajikan sejarah mengenai land reform di Indonesia. Sesuai dengan penelitian, land reform diterapkan atas dasar kemerdekaan politik di awal kemerdekaan yang dirasa kurang cukup bagi buruh tani. Oleh karena itu, muncul gerakan-gerakan untuk mencapai kemerdekaan dalam hal sosial-ekonomi atau revolusi sosial. Salah satu yang menjadi pokok diskursus dalam revolusi tersebut adalah land reform. Di Indonesia, kapitalisme tumbuh sebagai cangkokan kapitalisme kolonialisme, sehingga banyak terjadi konflik agraria dan ketimpangan struktur feodalisme. Ada penguasa yang mempunyai tanah luas, tetapi ada rakyat yang tidak punya. Masalah tersebut kemudian membuat banyak daerah yang melakukan revolusi sosial pasca kemerdekaan. Tujuannya adalah karena belum tuntasnya proses kolonialisme dalam konteks relasi sosial.
Cita-cita mengenai revolusi sosial terus berupaya dicapai masyarakat. Salah satu caranya adalah dengan mendorong pembuatan UU No. 5 Tahun 1960. UU ini disebut UU jalan tengah karena dilatarbelakangi oleh pertarungan dari berbagai partai. Sebagai UU yang pertama kali dibuat, UU No. 5 Tahun 1960 menjadi payung hukum agraria yang mendorong pemuatan UU lain seperti Keppres No. 131 tahun 1961 tentang penyelenggaraan land reform, serta UU No. 21 Tahun 1964 tentang pengadilan land reform. Sejak kemunculan UU tersebut, di Indonesia terdapat pengadilan khusus yang mengurusi kasus land reform selain pengadilan negeri dan agama. Sasaran pokok UU ini adalah tanah absten (tanah yang berlebihan) dan tanah perkebunan untuk dijadikan objek land reform. Sedangkan tanah negara tidak menjadi bagian utama dari land reform, tetapi akan digunakan ketika ada kekurangan objek. Namun, pelaksanaanya UU ini mendapat banyak kendala yang datang dari kaum elitis. Kendala pertama terjadi karena adanya ketidakrelaan para tuan tanah, birokrat, dan elit terhadap tanah miliknya yang dijadikan objek land reform. Kendala kedua, para tuan tanah/elit/partai yang anti terhadap Partai Komunis Indonesia (PKI) dan Barisan Tani Indonesia (BTI) mencoba menolak redistribusi tanah, dengan cara mengalihkan penggunaan tanah untuk warisan anak-anaknya, tempat pendidikan, dan wakaf rumah ibadah.
Dengan kendala tersebut, banyak tanah-tanah yang sudah diberikan kemudian diambil lagi oleh pemilik sebelumnya. Ia menjelaskan bahwa di Banyuwangi, rakyat-rakyat yang tidak memiliki tanah pada awalnya berhasil merebut tanah-tanah yang seharusnya digunakan sebagai objek land reform, namun dengan kendala yang ada tanah tersebut harus dialihkan lagi. Dalam penelitian, dijelaskan bahwa tanah yang direbut di Banyuwangi sekitar 1079 hektar, tanah absten 153 hektar, dan tanah bekas perkebunan 3681 hektar. Total keseluruhan tanah yang direbut yaitu 4915 hektar tanah yang dimiliki oleh 421 orang, dan sekitar 10 perusahaan. Namun, setelah direbut kembali rakyat berhasil melakukan pengeroyokan sehingga memaksa tuan tanah untuk menyerahkan tanahnya kembali. Hasilnya, tanah tersebut dikuasai oleh 13781 orang, yang kemudian dibagi-bagi melalui aksi yang disebut sebagai aksi berbagai pihak.
Kepemilikan tanah oleh rakyat Banyuwangi nyatanya tidak berlangsung lama. Peristiwa G30S membuat banyak pembunuhan di Banyuwangi sejak Bulan Oktober hingga Januari tahun 1966. Kurang lebih 1040 orang terbunuh yang tersangkanya berasal dari rezim militer. Adanya kerusuhan PKI ini juga membuat petani yang telah mendapatkan distribusi tanah, harus berkonflik dengan para pemilik tanah/birokrat. Dengan momen PKI, baik pemilik tanah maupun birokrat memanfaatkannya untuk merampas kembali tanah-tanah miliknya dulu. Menghadapi masalah tersebut, para petani tidak diam saja. Mereka terus berjuang agar tanahnya tidak jadi dirampas. Namun, lemahnya kekuatan membuat petani kalah dalam kasus ini. Alhasil, banyak daerah-daerah yang rakyatnya tidak memiliki tanah. Salah satu daerah yang tanahnya dirampas adalah Wongsorejo. “Sampai sekarang, masyarakat menjadi hidup segan mati tak mampu karena sangat sulit mendapatkan akses lahan,” ujar Kurnia C. Effendi selaku pemateri kedua.
Kesimpulan dari pembahasan mengenai land reform di Banyuwangi, Jawa Timur adalah bahwa di Indonesia perlawanan agararia berhenti hanya sampai tahun 1965. Setelah itu, pemilik rezim otoritas melakukan perampasan terhadap tanah hak masyarakat. Kekerasan yang dilakukan oleh pemerintah dan kemudian juga atas nama G30S menjadi dasar bagaimanan pemerintah dengan rezim barunya membangun era pembangunan yang dianggap membawa kesejahteraan masyarakat. Padahal jika dilihat kembali, akses lahan sejak tahun ‘65 hingga sekarang menjadi sangat marjinal terutama bagi golongan petani. (ASA)