Mendengar Cerita Pendidikan di Papua dalam Diskusi Beranda Kebangsaan #1

Yogyakarta, 30 Juni 2020—Pusat Pengembangan Kapasitas dan Kerjasama (PPKK) Fisipol UGM mengadakan Diskusi Beranda Kebangsaaan #1 pada Selasa (30/6). Diskusi kali ini bertajuk “Mempersiapkan Generasi Unggul Papua Melalui Pendidikan Inklusif dan Humanis”. Diskusi menghadirkan enam pembicara, yaitu: Prof. Ir. Panut Mulyono, M.Eng., D.Eng., IPU, ASEAN Eng., Rektor Universitas Gadjah Mada; Alfath Bagus Panuntun El Nur Indonesia, S.I.P., Peneliti Gugus Tugas Papua UGM; Sutedhi Romansah, S.Pd., GPDT Kabupaten Puncak; Anselmus Bobo Tari, S.Pd., GPDT Kabupaten Mappi; Paulina Cornelia Kohome, mahasiswa DPP UGM 2019; dan Janius Tabuni, mahasiswa PSdK UGM 2020.

Paulina asal Kabupaten Mappi, Provinsi Papua menceritakan mengenai kondisi sekolah di daerah asalnya. Berdasarkan pengalamannya, kondisi sekolah di daerah asal meliputi banyak guru dan teman yang terlambat masuk sekolah, jumlah tenaga pendidik yang terbatas, serta kurikulum pendidikan yang berbeda dibandingkan dengan di Jawa. Selain itu, berdasarkan data statistik BPS Provinsi Papua tahun 2019, Indeks Pembangunan Manusia Kabupaten Mappi berada di angka 58,30. “Hal ini menunjukkan bahwa kondisi pendidikan, kesehatan, kondisi pembangunan manusia di daerah Mappi masih di bawah rata-rata Papua dan nasional, bahkan tergolang rendah,” ungkap Paulina.

Janius asal Kabupaten Puncak, Provinsi Papua juga menceritakan mengenai kondisi belajar di kampungnya. Ada beberapa hal yang mempengaruhi kondisi belajar di daerah asal, misal faktor sosial budaya, faktor geografis, sarana prasarana kurang memadai, minimnya fasilitas pendidikan serta kurangnya guru berkualitas dan berkomitmen. “Ada beberapa distrik yang tidak memiliki bangunan sekolah, selain itu fasilitas pendidikan juga minim,” tutur Janius.

Baik Janius dan Paulina bercerita bahwa untuk dapat diterima di UGM, mereka harus melalui beberapa tahap seleksi. Mulai dari seleksi di daerah asal, matrikulasi yang dilakukan oleh tim Gugus Tugas Papua hingga seleksi pendaftaran masuk perguruan tinggi yang diadakan oleh UGM. Ketika pertama kali sampai di Yogyakarta, keduanya mengaku terkejut dan terkendala dalam beradaptasi. Hal ini karena perbedaan bahasa dan cara berkomunikasi, kebiasaan, serta norma dan nilai sosial yang berbeda dari wilayah asal mereka.

Selain mahasiswa UGM yang berasal dari Papua, diskusi kali ini juga mengahdirkan dua pengajar dalam program Guru Penggerak Daerah Terpencil (GDPT) yaitu Anselmus dan Tedhi. Baik Anselmus dan Tedhi, mulanya harus melakukan pendekatan dengan peserta didik. Kondisi pendidikan yang cukup tertinggal membuat keduanya memberi perhatian khsusus pada anak-anak didiknya. Gayung bersambut, semangat belajar anak-anak didik semakin tumbuh setiap harinya. “Kadang siang sepulang sekolah, anak-anak datang dan bilang mau belajar, kemudian biasanya dilanjutkan lagi malam”, imbuh Anselmus.

Tedhi kemudian menceritakan mengenai proses pembelajaran yang dilakukannya. Cara-cara yang digunakan Tedhi yaitu penggunaan metode pembelajaran secara kontekstual dan pendekatan emosional dalam penyampaian materi pembelajaran maupun dalam keseharian. Selain itu Tedhi juga selalu memotivasi peserta didik untuk berani mengungkapkan pikiran. “Anak-anak banyak merasa malu dan tidak percaya diri untuk mengungkapkan pikiran, sehingga perlu membangun komunikasi dan kedekatan, tidak hanya dalam pembelajaran tetapi juga keseharian,” tutur Tedhi.

Secara umum, Alfath merumuskan ada tiga permasalahan utama dalam pendidikan di Indonesia, utamanya Papua. Permasalahan tersebut meliputi kurangnya kesadaran dan perencanaan yang baik dalam mempersiapkan generasi mendatang. Selain itu juga minimnya jumlah guru yang kompeten dan memiliki komitmen kuat serta akses sarana dan prasarana pendidikan yang juga minim.

Alfath lantas menyebutkan relevansi antara pendidikan inklusif dan humanis yang perlu diimplementasikan khususnya pada pendidikan di Papua, yaitu tentang muara pendidikan itu sendiri. Merujuk pada konsep Ki Hajar Dewantara, muara pendidikan Indonesia adalah kesadaran untuk menjadi manusia yang berbudi pekerti dan bertanggungjawab secara sosial. “Kunci dari pendidikan Indonesia, yaitu menciptakan manusia yang berbudi pekerti dan memiliki tanggungjawab sosial untuk menolong sesama dan menjaga kelestarian alam,” sebut Alfath. (/anf)