Mengeksplorasi Permasalahan di Desa-Kota menjadi Inovasi Sosial

Yogyakarta, 5 Desember 2019—“Indonesia merupakan salah satu negara dengan penduduk terbesar di dunia, terdapat beberapa hal yang tidak dapat terhindarkan seperti peningkatan kebutuhan energi yang seperti listrik, dan peningkatan sampah yang dihasilkan secara kumulatif,” ujar Leo, perwakilan Changemakers Fisipol Creative Hub eBeTe yang bergerak dalam bidang energi baru terbarukan dalam Sharing Session Fisipol Creative Hub di hari Kamis lalu. Sharing Session kali ini membawakan tema “Membangun Desa, Menyelami Persoalan Kota, mengundang dua Changemakers Fisipol Creative Hub eBeTe dan shariah living, serta pembicara tamu, Rajib Khafif Arruzi, peneliti di Sekolah Hijau, Pusat Studi Ekonomi Kerakyatan.

Sebagai startup sosial yang bergerak dalam bidang energi, eBeTe, berusaha untuk menyelesaikan permasalahan sosial di titik hulu dan hilir. Pada titik Hulu, permasalahan utama yang dihadapi adalah pengurangan sampah, sedangkan di hilir adalah permasalahan listrik yang masih menjadi tantangan bagi banyak daerah di Indonesia.

“Selama ini turbin terbuat dari bahan metal, kami mencoba memanfaatkan limbah untuk membuat turbin. Pada akhirnya kami berhasil untuk membuat turbin dengan kombinasi 30% sampah yang terdaur ulang dari limbah. Kami berharap dapat mengaliri desa-desa dengan listrik,”. Menurut Leo masih banyak sekali daerah di Indonesia yang menunggu dan masih dependen dengan listrik konvensional. Menggunakan tenaga mikro hidro, Leo berharap dapat merealisasikan pemerataan listrik sambil mengelola sampah dan mampu menerangi wilayah-wilaya yang tertinggal.

Selanjutnya shariah living, memiliki fokus startup nya terhadap masyarakat muslim. Dengan menyediakan berbagai platform kajian, event organizer untuk menghubungkan jamaah mitra dan penyedia produk, Shariah Living menyediakan platform untuk menghubungkan mitra-mitra tersebut. “Salah satu tujuan kami adalah mengurangi radikalisme, dengan fitur kajian yang didiversifikasi dan bekerjasama dengan kementrian agama, kami berharap dapat memberikan konten kajian yang tepat dan kontekstual di era saat ini,” ujar Shafira. Terakhir, Sharing Session ditutup dengan penjelasan Sekolah Hijau oleh Rajib Khafif Arruzzi, sebagai peneliti di Sekolah Hijau, Pusat Studi Ekonomi Kerakyatan UGM. Ia memaparkan mengenai makna dan implementasi dari inisiasi sekolah hijau,

“Sekolah Hijau sebagai alternatif model pemberdayaan masyarakat pedesaan. Sebagai sebuah ruang berkumpul, kami berharap dapat menyediakan tempat dengan mampu mengumpulkan ide yang bermanfaat bagi lingungan masyarakat dan ekonomi,”. Sekolah Hijau ini menggunakan desain sekolah yang ramah lingkungan, dengan penggunaan energi terbarukan dengan menggunakan tenaga surya. Sekolah Hijau juga berusaha untuk menyediakan ruang bagi masyarakat untuk saling berkontribusi dalam mengeksplorasi kesempatan bisnis dengan menambah value added berbagai produk-produk yang dihasilkan di masyarakat. (/fdr)