MENUNTUT ILMU DI NEGARA PUSAT PERADABAN: #SCHOLARSHIPTALK BEASISWA TURKI

Yogyakarta, 28 November 2018—Career Development Center (CDC) Fisipol UGM, mengadakan #Scholarshiptalk yang membahas beasiswa di Turki. Diskusi beasiswa Turki menjadi seri kedua dalam rangkaian Scholarshiptalk yang diadakan bulan ini, setelah sebelumnya membahas beasiswa di Rusia pada seri pertamanya.Bertempat di Gedung BA Fisipol UGM, CDC mengundang Hadza Min Fadhli Robby, alumni Departemen Ilmu Hubungan Internasional Fisipol UGM yang telah menyelesaikan studi pascasarjana di Eskisehir Osmangazi Uni, di Turki. Hadza juga merupakan penerima Türkiye Bursları, program beasiswa perguruan tinggi yang diberikan pemerintah Turki, pada tahun 2014.

Hadza mengawali sesi dengan kisah menariknya ketika mendaftar beasiswa di Turki tersebut. Kondisinya yang bahkan belum melaksanakan seminar proposal skripsi serta masih sangat awam mengenai Turki, tidak meruntuhkan semangat “nekat” Hadza untuk mengikuti seleksi Türkiye Bursları kala itu.

“Saya mungkin tidak akan lolos, tetapi karena tengah meneliti mengenai politik Turki dalam skripsi saat itu, saya memutuskan untuk tetap mencoba,” kata Hadza.

Kekayaan sejarah, keramahan penduduk, keragaman perspektif dan cara pandang masyarakat yang menarik untuk diteliti, hingga kuliner yang lezat; merupakan beberapa alasan yang menurut Hadza, menjadikan Turki sebagai destinasi studi lanjutan yang patut dicoba. Belum lagi, tersedia banyak alternatif jalur yang dapat ditempuh agar bisa menuntut ilmu dan mendapatkan beasiswa di negara tersebut.

Selain Türkiye Bursları, ada beasiswa dari universitas swasta atau lembaga tertentu, hingga Erasmus+, yang dapat dicoba oleh pelajar Indonesia untuk mendapatkan kesempatan belajar secara gratis di Turki. Beberapa program beasiswa yang tersedia bahkan juga tak hanya membantu biaya pendidikan, tetapi juga biaya hidup, asuransi kesehatan, hingga biaya kursus bahasa Turki.

Namun demikian, Hadza menekankan bahwa memilih program beasiswa bukanlah satu-satunya hal yang harus diperhatikan ketika hendak melanjutkan studi di Turki. Pemilihan kota yang strategis, aman, mudah diakses dengan transportasi yang memadai, serta dengan biaya hidup yang relaif murah; menurutnya juga tak kalah penting.

“Kota-kota seperti Ankara dan Konya, misalnya, bisa dipilih. Akan lebih baik pula untuk menghindari kota-kota yang berbatasan dengan area konflik, seperti Nusaybin dan Urfa yang berbatasan dengan daerah konflik di Suriah dan Irak,” kata Hadza.

Tak hanya memilih kota, memilih kampus dengan fasilitas yang memadai dan reputasi akademik yang baik, juga perlu dilakukan. Ranking universitas nasional yang dapat dilihat dari situs resmi pemerintah Turki, jurnal/penelitian dari tenaga pendidik Turki, serta rasio mahasiswa lokal dan asing, menurut Hadza dapat menjadi salah satu acuan.

Selain menceritakan alur pendaftaran serta proses seleksi pada berbagai jalur beasiswa tersebut, Hadza juga menjelaskan tantangan-tantangan yang akan ditemui pelajar asing ketika menempuh pendidikan di Turki. Perpaduan gaya hidup Islam dan sekuler di Turki, isu politik dan keamanan, situasi ekonomi yang tengah melemah, hingga budaya masyarakat Turki yang mungkin berbeda dengan Indonesia; menjadi beberapa contoh yang disampaikan Hadza.

Pada sesi tanya jawab, beberapa peserta terlihat antusias mengenai pengalaman Hadza selama melanjutkan studinya di Turki. Pertanyaan-pertanyaan terkait sistem penulisan penelitian, mekanisme penilaian, hingga kesempatan kerja sampingan, turut dibahas pada sesi ini. Seusai foto bersama, diskusi pun diakhiri pada pukul 15.00. (/sno)