Digitalk : Nilai-nilai Multikulturalisme yang Perlahan Memudar di Yogyakarta

Yogyakarta, 31 Juli 2018 – Tidak dapat dipungkiri bahwa konten politis bernada kebencian berdasarkan SARA kini lebih mudah beredar di masyarakat melalui media sosial. Bahkan, beberapa kelompok masyarakat mengalami persekusi akibat peredaran berita yang tidak utuh. Tidak heran jika kehadiran media sosial kemudian diduga melunturkan nilai multikulturalisme di masyarakat. Kekhawatiran inilah yang menjadi tema utama dalam diskusi antara Center for Digital Society (CfDS) UGM dan Gutomo Priyatmono, yang merupakan Ketua IMPULSE (Institute of Multuculturalism and Pluralism Studies). Diskusi dengan tajuk “Digital Multiculturalism in Social Media Era: Is it really happening?” ini diselenggarakan di Anomie Coffee pada Selasa (31/7) dan dihadiri oleh mahasiswa dari berbagai universitas.

Gutomo menilai bahwa nilai multikulturalisme perlahan memudar di Yogyakarta. Ia mencontohkan bahwa meskipun hidup berdampingan, namun mahasiswa luar Jogja tidak saling kenal dengan masyarakat asli Jogja. Padahal menurut Gutomo, multikulturalisme adalah belajar tentang sudut pandang dan cara hidup bersama. “Hidup bersama artinya ada relasi, dialog, dan penghormatan satu sama lain,” tutur Gutomo.

Di sisi lain, keberadaan media sosial dikhawatirkan dapat mendistorsi multikulturalisme. Salah satu penyebabnya adalah budaya baca yang rendah. Hal ini memudahkan penyebaran berita hoax. Gutomo menyebutkan media sosial sebenarnya memiliki banyak macam informasi, namun karena budaya kritis yang rendah, orang Indonesia cenderung percaya satu informasi tanpa mencari tambahan sumber informasi lain. Dikatakan pula oleh Gutomo bahwa konstruksi sosial yang ada di media sosial membentuk kebenaran tunggal atau post-truth.

Menanggapi era dimana gawai bisa dengan mudah menyebarkan informasi hoax melalui media sosial, Gutomo mengingatkan bahwa kita harus menggunakan gawai pintar dengan cara yang pintar pula agar tidak terjebak distorsi media sosial. Setiap orang harus memahami bahwa informasi yang ada di media sosial tidaklah utuh, oleh karena itu diperlukan pencarian informasi lebih lanjut. Tentunya akan berbahaya jika individu hanya menelan mentah-mentah semua informasi yang mereka terima tanpa memverifikasi sumber berita lain.

Menanggapi pernyataan Gutomo, Vania, mahasiswa Pascasarjana UKDW menanyakan pandangan Gutomo tentang agensi setiap orang di media sosial untuk mendistorsi kebenaran. “Tulisan Media sosial semakin padat semakin dibaca. Agen di sosial media tidak semuanya padat.Ketika individu memberikan opini, semakin padat semakin dibaca walau padat tapi ngawur. Apalagi kalau kita membaca artikel yang dipotong setengah jadi tidak tahu seluruh kebenarannya. Netizen tidak mau membaca sumber aslinya. Bad news is a good news. Tidak ada yang baru di berita, selalu begini prinsipnya,” jawab Gutomo.

Diskusi kemudian diakhiri dengan kutipan dari Mahatma Gandhi. “Hidup bersama adalah sebuah tantangan.” Berbhinneka adalah tantangan, tetapi Indonesia harus melihatnya sebagai sebuah gerbang. Inilah yang akan memperkaya Indonesia apabila kita dapat hidup bersama. (media rilis/Sn)