Penyelenggaran Pesta Demokrasi di Indonesia dan Kerentanan Perempuan dalam Pusaran Hoaks

Yogyakarta, 28 Juni 2020—Departemen Ilmu Komunikasi, Universitas Gadjah Mada mengadakan diskusi dengan tajuk acara Ngopi (Ngobrol Pagi #3) dengan menghadirkan beberapa narasumber perempuan, mulai dari Dr. Ninik Rahayu, S.H., M.S. mewakili Anggota Ombudsman RI, Anita Wahid selaku Presidium Mafindo, dan Novi Kurnia, Ph.D. selaku Dosen Ilkom UGM. Dengan mengambil tiga isu utama yakni terkait dengan perempuan, hoaks, dan pilkada 2020, diskusi ini berjalan sangat mendalam dan banyak memberikan insight baru kepada audiens. Secara garis besar, rangkuman keseluruhan dari diskusi ini banyak membahas perihal kerentanan perempuan dalam pusaran hoaks pada penyelenggaraan pesta demokrasi di Indonesia.

Trend pembicaraan terkait Pilkada 2020 cukup menjadi salah satu isu perbincangan yang banyak diberitakan. Pasalnya, pelaksanaan pilkada yang sudah ditetapkan oleh Pemerintah dan DPR yang jatuh pada tanggal 09 Desember 2020 mendatang akan segera dilaksanakan meskipun Indonesia masih dihadapkan dengan adanya krisis kesehatan dan krisis ekonomi. Sama halnya dengan pelaksanaan pesta demokrasi lainnya, pilkada 2020 juga sudah barang tentu dikhawatirkan akan menghadapi berbagai potensi adanya penyebaran hoaks oleh oknum-oknum tertentu. Dalam konteks ini, permasalahan hoaks merupakan salah satu tantangan yang harus diminimalisir oleh berbagai stakeholder, salah satunya yakni melibatkan peran perempuan. Namun, “Bagaimana bila yang sesungguhnya terjadi adalah justru perempuan itu sendiri yang menjadi objek atas dilanggengkannya praktik penyebaran hoaks dalam penyelenggaraan pesta demokrasi?

Dalam penyampaiannya kepada audiens, Ninik Rahayu memberikan penjelasannya bahwa dalam perhelatan pesta demokrasi, seperti pilpres, pileg, ataupun pilkada, perempuan kerap menghadapi kerentanan dan tantangan dalam empat aspek, yang diantaranya pertama adalah aspek kultural yakni budaya patriarki yang menempatkan perempuan tersubordinasi dan termarjinalisasi. Kedua, aspek sosial yang berupa adanya perspektif masyarakat yang menganggap pemilu dan pemimpin selalu berkaitan dengan urusan laki-laki. Ketiga, aspek pendidikan yakni masih minimnya pendidikan politik bagi perempuan. Sementara itu, dari aspek yang keempat yakni aspek politik terdapat jaminan hak konstitusional perempuan yang berkelindan dengan kebijakan diskriminatif. Meskipun pada praktiknya terdapat suatu kebijakan khusus sementara (affirmative action) yang memberikan kuota sebesar 30% bagi perempuan dalam berkontribusi sebagai perwakilan politik, perilaku diskriminatif masih sering terjadi, misalnya perempuan seringkali menjadi objek dalam praktik pelaksanaan hoaks dalam rangkaian pelaksanaan pemilihan umum.

Menanggapi hal tersebut, selaku pihak yang mewakili Mafindo, Anita Wahid memberikan sebuah uraian komprehensif yang membuka pemikiran pendengar bahwasanya dalam bekerjanya penyebaran hoaks (information disorder), perempuan merupakan salah satu bagian dari konten hoaks yang dikemas dalam adanya penggiringan isu yang berbau seksualitas, agama, dan politik yang juga dikaitkan dengan persoalan moralitas. Menurut pengamatan yang dilakukan oleh Anita bersama Mafindo, target perempuan yang dijadikan dalam proses penyebaran hoaks ini terdiri atas public figure dan non public figure. Terlebih lagi, tanpa disadari perempuan juga kerap dijadikan sebagai “senjata hoaks”. Dalam hal ini, perempuan pun juga kadang menjadi subjek atas penyebaran hoaks tersebut. Adapun alasan ini didukung atas dasar adanya keinginan perempuan untuk melindungi diri sendiri dan orang-orang yang dianggap dekat dan tidak berada di luar garis apa yang diyakini oleh perempuan sebagai pelaku penyebar hoaks.

Merunut pada penelitian yang sudah dilakukan oleh Novi Kurnia (Dosen Ilkom UGM), trend penyebaran hoaks banyak terjadi dalam aplikasi WhatsApp (86,6%). Adapun sumber penyebarannya juga beragam, mulai dari yang terbanyak yaitu dari WAG Teman, Japri, WAG Keluarga, WAG Profesi, dan WAG Komunitas. Pada praktiknya, penyebaran hoaks dan arah pengaruh berhasil diserapnya oleh penerima informasi juga disebabkan karena masih minimnya kompetensi krisis yang dimiliki oleh penerima informasi. Alhasil, beberapa respon yang ditunjukkan akibat adanya penyebaran hoaks pun juga bermacam-macam. Novi telah merangkum setidaknya terdapat empat jenis respon yang dilakukan oleh penerima informasi. Dimulai dari mendiamkan, mengarahkan pada verifikasi, memberi verifikasi, hingga meninggalkan grup WhatsApp.

Apa yang perlu menjadi perhatian pula adalah bahwa salah satu motif penyebaran hoaks yang menjadikan perempuan sebagai objek biasanya dapat ditandai dari adanya penggunaan kata atau kalimat seksis yang tendensinya mengarah pada pelecehan seksual. Misalnya, contoh yang digambarkan oleh Novi adalah “Ada gambar perempuan di dalam dos, terus ini yang belum dicoblos, ini merupakan pelecehan perempuan”. Hal tersebut merupakan salah satu contoh dari banyaknya penggunaan perempuan sebagai objek dalam melakukan penyebaran hoaks pada kampanye politik. Dengan melihat kondisi yang demikian, kiranya sangat diperlukan adanya penguatan dalam basis literasi digital, utamnya bagi perempuan. Dalam tujuan agar perempuan dapat berdaya dan berani, mengenali dan memahami konteks penyebaran hoaks, mampu meminimalisir terjadinya kesenjangan digital, hingga mampu meningkatkan kompetensi kritis dalam memerangi hoaks.