Peran Organisasi Masyarakat Sipil dalam Advokasi Isu HAM di Kancah ASEAN

Yogyakarta, 19 September—Bagaimana peran organisasi masyarakat sipil Indonesia dalam memperjuangkan HAM di kancah ASEAN?”, pertanyaan pembuka pada diskusi bulanan DIHI kali ini. Isu Hak Asasi Manusia (HAM) masih menjadi isu yang diperjuangkan saat ini. Tak terkecuali ASEAN, organisasi satu ini masih terus dikawal untuk memperjuangkan HAM.

Departemen Ilmu Hubungan Internasional, Fisipol UGM, mengadakan diskusi bulanan bertajuk Civil Society Organization dan HAM di ASEAN: Studi Kasus di Indonesia dengan menghadirkan Randy Wirasta Nandyatama, Dosen Ilmu Hubungan International, Fisipol UGM di Ruang Sidang Depertemen Ilmu Hubungan Internasional.

“Dalam paparan saya hari ini, yang saya soroti adalah bagaimana isu HAM bisa menjadi perhatian dalam gerak langkah ASEAN, khususnya melalui bagaimana proses perkembangan norma di ASEAN” ujar Randy. Dengan menggunakan pendekatan konstruktivisme, maka proses pemantapan isu HAM menjadi perhatian bagi ASEAN, ditelaah melalui komitmen relasi kuasa dalam ASEAN. “Jadi sebenarnya siapa saja yang menjalin relasi kuasa di dalam proses masuknya isu HAM dalam ASEAN?,” ujar Randy.

Teori miliki Bourdieu menjadi salah satu alat bedah dalam diskusi ini. Bagi Bourdieu, dalam interaksi antar manusia terdapat agenda yang dibawa baik itu secara umum atau secara khas. Di dalam interaksi tersebut kemudian menciptakan relasi kuasa, dan agenda yang dibawa dalam hal ini yaitu mengenai isu HAM. Agenda yang dibawa dapat menjadi perhatian lebih ketika berhasil menjadi Doxa.

“Doxa is a set of fundamental beliefs as the dominant dispositions in the field,” Doxa bisa muncul dan berkembang, dipengaruhi oleh kondisi sosial atau kuasa. Sebenarnya, semua pihak dapat menjalin relasi kuasa dalam proses perkembangan norma, namun Doxa menjadi salah satu hal penting yang mempengaruhi siapa yang dapat “berkuasa”.

Terdapat beberapa norma yang muncul sebagai Doxa di ASEAN; Pertama, ASEAN adalah sekumpulan negara yang merasa sama diantara yang lain, artinya setiap negara menganggap dirinya tidak boleh ikut campur urusan negara lain. Kedua, segala bentuk problem yang ada harus diselesaikan secara baik-baik. Ketiga, segala pembentukan kebijakan harus berdasarkan konsensus bersama. Terakhir, segala sesuatu harus melalui proses yang perlahan, tidak boleh ada revolusi.

“Indonesia adalah negara yang paling penting di ASEAN. Mengapa? Karena Indonesia adalah negara yang paling bisa memproduksi ide yang paling bisa disetujui,” ujar Randy. Dengan adanya Doxa, maka ASEAN akan menerima ide sesuai dengan Doxa. Indonesia mengawalinya dengan memberi ide cemerlang, yaitu dengan political development. Memperbarui struktur ASEAN, dengan tidak mengikuti atau tidak terlalu berkiblat pada negara barat.

“Indonesia mengusulkan adanya reformasi struktur ASEAN dengan tidak begitu mengikuti negara barat, salah satunya adalah pro terhadap isu HAM dan memiliku sistem pemilu. Hal ini dilakukannya dengan perlahan dan mengikuti doxa, sehingga dapat disetujui oleh semua pihak di ASEAN,” ujar Randy.

Peran Indonesia sebagai penyumbang ide disalurkan melalui keaktifan  tiga organisasi masyarakat sipil berikut ini; CSIS, KontraS, HRWG. Ketiganya berfokus pada isu HAM, dan ketiganya memiliki pendekatan yang berbeda dalam memperjuangkan HAM di kancah ASEAN.

Dari ketiga organisasi diatas, CSIS merupakan organisasi yang paling sering dilibatkan oleh pemerintah. Hal ini karena strategi yang diterapkan oleh CSIS sesuai dengan norma dan doxa yang berkembang di ASEAN. “CSIS memilih strategi yang dekat dengan ASEAN, mereka selalu up to date dan paham akan doxa. Sehingga, mereka berhasil membangun legitimasi bahwa mereka adalah expert  dalam isu dan advokasi HAM,” ujar Randy.

Sedangkan, KontraS mengambil strategi dengan membawa narasi yang berbeda untuk melawan doxa dominan. Mereka melakukan ini dengan demonstrasi. Berbeda dengan KontraS, HRWG (Human Rights Working Group) memilih strategi yang adaptive, yaitu dengan berperan sebaga agensi yang mengubah strategi sosialiasi norma HAM.