Press Gathering and Dialogue IIS Fisipol UGM : Bangkitnya Cina Sebagai Aktor Kunci Politik Internasional

Yogyakarta, 30 Agustus 2018 – Institute of International Studies (IIS) Fisipol UGM mengadakan Press Gathering and Dialogue bertajuk “Menghadapi Kebangkitan Cina” pada Kamis (30/8) di Digilib Cafe, Fisipol UGM. Acara dibuka oleh Drs. Riza Noer Arfani, MA. selaku Direktur Insitut of Internasional Studies Fisipol UGM yang dalam pembukaannya mengatakan bahwa kegiatan press release ini adalah langkah untuk mediseminasikan dan mengkomunikasikan hasil riset dan rekomendasi kebijakan melalui media. Pembukaan acara dilanjutkan oleh Cut Intan Auliannisa Isma selaku Project Manager IIS UGM yang menjelaskan tentang IIS yang merupakan lembaga think tank dalam kajian dan advokasi isu-isu internasional dengan perspektif selatan dan  mempunyai misi untuk menjadi lembaga yang mewujudkan center of knowledge, agent of change, dan friendly space dengan cara menghadirkan publikasi dan diseminasi yang bersifat reflektif dan responsif.

Cut Intan Auliannisa Isma juga mendetailkan agenda IIS kedepannya yakni konvensi dan lokakarya, launching dan diskusi buku serta kolokium yang akan dilaksanakan dalam sebulan mendatang.  Dr. Nur Rachmat Yuliantoro selaku Ketua Departemen Ilmu Hubungan Internasional Fisipol UGM juga menambahkan mengenai rencana publikasi buku yang akan segera terbit akan membawa empat tema utama yakni diaspora, politik keamanan, kerjasama ekonomi dan hubungan budaya Indonesia-Cina. Beliau menimpali bahwa akan ada topik yang fresh seperti diplomasi kota yang akan membahas mengenai sister city seperti Kota Semarang di Indonesia dan Kota Beihai di Cina.

Acara dilanjutkan dengan membahas mengenai kebangkitan Cina yang dibawakan oleh Imron Cotan, MA selaku Duta Besar Republik Indonesia untuk Republik Rakyat Tiongkok dan Mongolia pada tahun 2010-2013. Beliau memaparkan tentang faktor yang memengaruhi kebijakan luar negeri adalah aktor utama berupa hard power dan soft power. Soft power ini sering disebut dengan altruisme. “Altruisme inilah yang membentuk mental orang Indonesia yakni filosofi ‘kalau aku baik sama dia, pasti dia  pun sebaliknya’,” ujar Imron. Padahal  menurut Imron, hal yang utama dalam foreign policy adalah bagaimana kepentingan tercapai dan mendahulukan tujuan awal yakni fokus pada kepentingan. “Politik adalah tentang take and give,” tambah Imron. Contohnya wujud altruisme masyarakat Indonesia terwujud pada Indonesia yang merupakan negara muslim terbesar di dunia namun gagal dalam merepresentasikan islam karena altruisme Indonesia yang kurang berani dalam menunjukkan kebesaran negaranya.

Selanjutnya, Imron membahas tentang upaya mengembangkan dan meniru cara governance Cina yang stabil, makmur dan aman.  Maka dari itu Indonesia perlu membenahi currency yang akan diuntungkan di kebijakan luar negeri, yakni dari aspek kekuatan militer terutama Angkatan Laut dimana Indonesia sebagai negara maritim harus merealisasikan perubahan status maritim indonesia yang masih brown water menjadi green water serta mengembangkan pertahanan misil. Dari aspek kekuatan ekonomi, Indonesia seharusnya merupakan pasar terbesar namun karena kondisi inflasi yang tinggi dan ekspor yang rendah, sulit untuk mewujudkan ekonomi yang kuat. “Kemenlu seharusnya bisa menjadi alat peluang untuk menyerap teknologi dari negara luar seperti Cina yang menerapkan transfer teknologi,” ujar Imron.

Imron juga menambahkan, kondisi geografis Indonesia yang strategis harusnya bisa menjadi peluang. “Indonesia berada dalam well position yang seharusnya bisa menjadi penguhubung ekonomi maupun konflik, namun peran tersebut malah diambil oleh negara tetangga seperti Singapura dan Malaysia,” ujar Imron. Terakhir, dari aspek sosio kultural, Indonesia sulit untuk menyaingi Cina yang telah memiliki akar historis selama 5000 tahun lebih.  Sosio kultur Cina yang par excellence telah membangun civilization dan footprint yang kuat, hal ini ditandai dengan adanya kawasan pecinan hampir diseluruh dunia. “Upaya Bahasa Indonesia untuk menjadi bahasa resmi ASEAN juga merupakan langkah yang tepat untuk berkembangnya aspek sosio kultural Indonesia,” ujar Imron.

Salah satu rekomendasi kebijakan yang diungkapkan Imron salah satunya adalah pembuatan working platform yakni PENTA yang beranggotakan Indonesia, Australia, Jepang, Cina dan India yang nantinya kelompok ini tidak saling mengintervensi kebijakan satu sama lain.

Acara dilanjutkan dengan sesi tanya jawab yang dipandu oleh Hikmatul Akbar, MA selaku Dosen Ilmu Hubungan Internasional Universitas Pembangunan Nasional “Veteran” Yogyakarta. Setelah sesi tanya jawab berlangsung selama 30 menit berakhir, acara ditutup oleh sesi foto dan makan siang bersama diiringi penampilan band dari mahasiswa Hubugan Internasional Fisipol UGM. (/Afn)