Webinar Membahas Tata Kelola Air dalam Peraturan Sumber Daya Air Terbaru

Yogyakarta, 30 Juni 2020—Departemen Politik dan Pemerintahan (DPP) bekerja sama dengan Netherlands Organisation of Scientific Research (NWO) dan Kemenristekdikti mengadakan diskusi bertajuk “Nasib Tata Kelola Air Pasca Revisi UU No. 17 Tahun 2019”. Diskusi ini menghadirkan empat pembicara, yaitu Ir. Iriandi Azwarika, S.P1, Direktur Air Tanah dan Air Baku, Kementerian PUPR; Dr. Budi Joko Purnomo, Pusat Air Tanah dan Geologi Tata Lingkungan, Kementerian ESDM; Nila Ardhiane, Direktur Amrta Institute; dan Michelle Kooy, dosen IHE-Delft Institute for Water Education. Diskusi yang dilaksanakan Senin (29/6) ini dimoderatori oleh Amalinda Savirani, dosen DPP Fisipol UGM.

Nila sebagai pembicara pertama menyampaikan, pada UU No. 17 tahun 2019 tentang Sumber Daya Air akan ada integrasi pengelolaan air tanah dan air permukaan. Tujuan umumnya yaitu mengelola aspek teknis, sosial ekonomi dan lingkungan dari air tanah dan air permukaan beserta interaksinya. Aktor utama dalam tata kelola air di Indonesia adalah pemerintah, masyarakat dan pasar atau pelaku ekonomi. Tugas pemerintah sendiri, Nila memaparkan, mulai dari menyusun kebijakan, menyusun pola pengelolaan dan rencana pengelolaan serta melaksanakan rencana-rencana yang sudah dibuat. “Hal yang baru dari UU sumber daya air ini akan ada integrasi, pengaturan mengenai ruang lingkup pengelolaan, perizinan, sistem informasi dan manajemen, hingga partisipasi masyarakat,” tekan Nila.

Lebih lanjut, Nila memaparkan, bawah di peraturan sebelunya yang mengatur tentang air, yaitu UU No. 7 tahun 2004 terdapat dua pembagian pengelolaan air. Pengelola utama air permukaan wilayah sungai adalah Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR). Sedangkan air tanah yang sumbernya dari cekungan air tanah, pengelola utamanya adaalah Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM). Pada undang-undang mengenai pengelolaan air yang baru, pengelolaannya berada di bawah kementerian PUPR dan basis pengelolaan adalah wilayah sungai dengan mempertimbangkan keterpaduan antara air permukaan dengan air tanah. “UU yang baru pengelolaannya berada di bawah Kementerian PUPR, nanti juga ada peraturan-peraturan yang lebih detail mengatur pengelolaannya,” imbuh Nila.

Melanjutkan Nila, Budi memaparkan fakta dari data BPS, air tanah memasok 75 persen kebutuhan air bersih masyarakat. Padahal, di UU No. 7 tahun 2004 telah diatur bahwa penggunaan sumber daya air mengutamakan air permukaan terlebih dahulu. Pada UU sebelumnya memang pengelolaan air didasarkan pada air tanah berbasis cekungan, sedangkan pada UU terbaru, pengelolaan air tanah didasarkan pada wilayah sungai dengan memperhatikan penggunaan air permukaan dan air tanah. Selain itu, pada UU No. 17 tahun 2019 ini juga diatur mengenai prioritas penggunaan air. “Prioritas penggunaan air pada UU terbaru yaitu untuk kebutuhan pokok, pertanian rakyat, sistem penyediaan air minum, usaha untuk kepentingan publik dan usaha atau industri,” ungkap Budi.

Melengkapi Budi, Iriadi mengatakan bahwa di UU No. 17 tahun 2019 juga akan diatur sedemikian rupa mengenai fungsi pengelolaan air tanah yang berkelanjutan. Hal ini dengan meperhatikan fungsi ekonomi, lingkungan dan sosial. Selain itu, juga akan diatur mengenai tiga pilar utama dalam pengelolaan sumber daya alam air. “Tiga pilar utama pengelolaan air yaitu konservasi dan pendayagunaan sumber daya air serta pengendalian daya rusak air,” tutur Iriadi.

Salah seorang Profesor Teknik Sipil UGM yang turut hadir dalam diskusi ini adalah Budi Wignyosukarto, pakar di bidang teknik sumber daya air. Budi menyebutkan  bahwa hal yang paling utama dalam UU No. 17 tahun 2019 adalah kehadiran negara dalam mengelola sumber daya air. Hal ini karena ada beberapa sumber air yang dikuasai oleh personal dan swasta. “Padahal menurut Undang Undang Dasar 1945 Pasal 33, sumber daya air harusnya dikuasia oleh negara,” sebut Budi. (/anf)