YouSure ajak Pemuda Kritis di Era Digital dalam Merefleksikan Kemerdekaan RI

Yogyakarta, 20 Agustus 2019—Disrupsi merupakan sesuatu yang alami dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Disrupsi digital terhadap masyarakat Indonesia adalah salah satunya. Berdekatan dengan perayaan kemerdekaan Indonesia ke-74, YouSure mencoba mengangkat diskusi ‘Bincang Muda’ kali ini dengan judul Urgensi Nalar Kritis Pemuda di Era Digital: Refleksi 74 Tahun Kemerdekaan RI.

Bertempat di Selasar Barat FISIPOL UGM, diskusi ini dipandu oleh moderator dari YouSure Farid Ali Syahbana dan diisi oleh pembicara Gilang Desti P., selaku dosen dari Ilmu Komunikasi Fisipol UGM, dari MAP Corner yaitu Alnick M. Nathan, dan Mapres Psikologi 2018 yaitu Zahwa Islami. Mereka bersama-sama mencoba menjelaskan keterkaitan pemuda, pemikiran kritis, dan kemerdekaan Indonesia.

Diskusi diawali dengan para pembicara membahas cara mereka masing-masing dalam mengekspresikan nalar kritis mereka. Zahwa menyampaikan bahwa salah satu cara ia mengekspresikan pemikiran kritis adalah dengan melakukan riset yang berkaitan dengan pembuatan modul pelatihan kesehatan reproduksi perempuan di panti asuhan. Selain itu, ia menceritakan proses yang ia alami dalam mempersiapkan perlombaan Mapres dengan menulis mengenai stigma anak HIV/AIDS. Ia percaya bahwa melawan stigma adalah caranya untuk menjadi kritis terhadap hal-hal sekitar.

Alnick menyampaikan, sebagai seorang mahasiswa yang aktif dalam kegiatan diskusi, ia merasa bahwa arti berpikir kritis adalah challenging power. Alnick merasa bahwa dengan mengkaji kebijakan, mengikuti gerakan, dan diskusi akademik, pemikiran kritis akan terwujud dengan positif. Meminjam pemikiran Lenin, menurut Alnick praktik harus dengan teori yang mumpuni juga. Pola pikir seperti itu akan membentuk sikap kritis yang ofensif, yaitu sikap kritis yang menyerang isu-isu sebelum tumbuh.

Berbicara mengenai pemuda, Gilang menyampaikan bagaimana para pemuda memiliki kapasitas untuk bereksperimen. Mereka punya kecenderungan untuk langsung menerima ide, malah kadang tanpa resistensi yang berarti. Hal inilah yang menurut Gilang kadang membawa pemuda ke ranah kritis yang salah. Pelampiasan pemikiran kritis ini kadang diterjemahkan dengan cara yang ekstrim. Sama seperti pola pikir pelaku terorisme yang biasa ditemukan berumur dibawah 30 tahun.

Diskusi kemudian diarahkan kepada pembahasan cara pemuda dapat melakukan pemikiran kritis itu sendiri. Zahwa menjelaskan adanya masalah kurang dalamnya pengujian kembali ide-ide yang pemuda dapatkan dari orang-orang yang mereka anggap keren. Mengambil contoh dari pembelaan netizen terhadap kasus Audrey yang terinspirasi oleh omongan influencer.

Gilang menanggapi dengan menyorot ironi praktik penalaran kritis di kampus. Ia menjelaskan bagaimana mahasiswa dituntut kritis di kelas namun dilarang melakukannya di luar ruang kelas itu sendiri. Gilang percaya bahwa kemampuan para pemuda untuk mengkritisi di dunia maya bukanlah faktor generasi, namun karena masalah kebiasaan. Ia percaya bahwa berkritisi bisa menjadi kebiasaan semua generasi. Alnick, mengambil contoh aktivis lingkungan Greta Thunberg, menyatakan bahwa kehebatan tidak perlu menunggu umur. Ia mengambil kutipan dari ujaran Gramsci bahwa kita boleh pesimis secara intelektual, namun harus optimis dalam tekad. (/Lak)