Yogyakarta, 6 Juli 2023—Representasi gender di era ini menjadi salah satu topik yang banyak dibahas oleh para ahli. Gender tidak lagi diposisikan sebagai kesetaraan dalam arti sama, atau equality, melainkan disetarakan berbasis hak, kewajiban, dan kebutuhan masing-masing gender. Diskusi “Australia-Indonesia in Conversation: Valuing Democracy and Diversity: Equity, Leadership, and Social Justice” bertajuk “Impoving Gender Equity” pada Kamis (6/7) membahas tentang pemaknaan gender dan bagaimana lingkungan saat ini inklusif terhadap wacana tersebut.
“Kalau kita bicara mengenai kekerasan gender ini tidak terlepas dari dua hal, yaitu pemuda dan maskulinitas. Tidak ada studi yang mengatakan bahwa pria merupakan sumber kekerasan, namun studi melihat bahwa 95% konflik dikonstruksi dari maskulinitas yang melekat pada pria,” ungkap Prof. Dr. Wening Udasmoro, SS, M.Hum., DEA. Bertahun-tahun lingkungan telah membentuk stereotip kekerasan, perang, penyerangan, kekuatan, sebagai simbol dari laki-laki dan maskulinitas.
Menurut studi yang dilakukan Wening terhadap Konflik Ambon, generasi muda memiliki peran besar dalam mengampanyekan perdamaian dan anti kekerasan dalam konflik etnis-agama di Ambon. Upaya-upaya tersebut dijalankan sejak Kota Ambon dipatenkan sebagai Kota Musik Dunia pada tahun 2019. Pesan-pesan perdamaian pun kerap diputar sepanjang jalan Ambon sebagai upaya preventif terjadinya kembali konflik Ambon.
Sejalan dengan pendapat Wening, Aktivis Perempuan Poso dan Pencetus Sekolah Perempuan, Lian Gogali juga menyatakan salah satu strategi untuk memulihkan keadaan pasca-konflik adalah melalui penguatan pendidikan, khususnya pada perempuan. Kelompok perempuan merupakan satu unsur yang paling dekat dengan keluarga. Perempuan berperan sebagai rumah, mengelola rumah tangga, mendidik anak-anak, bahkan tidak jarang perempuan yang menjadi tulang punggung keluarga. “Kalau pendidikan ini bisa diberikan pada seluruh perempuan, maka ia tidak hanya akan membuat perubahan dalam keluarganya, namun juga dalam komunitas, bahkan dunia,” ucap Lian.
Upaya-upaya penanggulangan konflik melalui pembangunan gender equity juga dilakukan oleh Australia. Madeline Moss, Konselor Kementrian dari Kedutaan Besar Australia mengungkap bagaimana pemerintah berusaha mengatasi konflik kekerasan rumah tangga yang marak terjadi. “Berbicara tentang konflik yang melibatkan gender, kami menemukan berbagai kasus kekerasan rumah tangga. Parahnya, kebanyakan konflik terjadi tidak dalam waktu yang singkat, dan kebanyakan hukum diterapkan dengan memberatkan korban. Maka kami membuat hukum khusus untuk menangani kasus kekerasan rumah tangga, di mana korban mendapat jaminan untuk tidak diberatkan atas penderitaan yang mereka alami,” tutur Madeline.
Royal Commission, lembaga hukum independen pemerintah Australia telah membahas isu kekerasan rumah tangga secara lebih mendalam. Urgensi yang disampaikan adalah bahwa kebanyakan korban tidak menyadari bahwa mereka sedang mengalami kekerasan. Hal ini tentunya dapat menciptakan lingkungan yang tidak sehat bagi anggota keluarga, bahkan komunitas. Maka dari itu, Royal Commission mendesak pemerintah untuk membuat kebijakan terkait penanganan kekerasan dalam rumah tangga.
Indonesia sendiri dianggap belum bisa memberikan kepastian hukum pada korban kekerasan, khususnya kekerasan dalam rumah tangga dan seksual. Fenomena tersebut diamini oleh Aktivis Muslim Perempuan, Kalis Mardiasih. “Banyak tantangan yang dihadapi salam memperjuangkan kekerasan seksual di Indonesia. Ini berkaitan dengan kelompok-kelompok religius konservatif yang menempatkan laki-laki sebagai pencari nafkah, dan perempuan sebagai pengurus rumah tangga. Kelompok tersebutlah yang banyak menolak ratifikasi dari regulasi kekerasan seksual,” kata Kalis. Baginya, perjuangan kesetaraan gender di Indonesia masih sangat jauh dari kata selesai. Tentunya, generasi muda diharapkan lebih aktif dalam menyuarakan bentuk-bentuk keadilan dan kesetaraan bagi seluruh gender. (/tsy)