Yogyakarta, 16 Mei 2024─Berdasarkan proyeksi Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB), jumlah orang berusia di atas 60 tahun akan mengalami kenaikan sebanyak 12% hingga 22% dari jumlah awal 901 juta pada 2015 menjadi 2.100 juta pada 2050. Hal tersebut menandakan bahwa demografi global sedang mengalami penuaan. Oleh karena itu, berbagai inisiatif dan upaya untuk menciptakan lingkungan yang ramah terhadap populasi lanjut usia (lansia) menjadi hal yang penting. Terlebih, perwujudan lingkungan yang inklusif terhadap lansia juga mendukung terlaksananya Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (TPB) ke-11 tentang Kota dan Permukiman yang Berkelanjutan.
Berangkat dari pentingnya inklusivitas terhadap kelompok lansia, Departemen Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan (PSdK) Fisipol UGM menyelenggarakan Workshop dan Seminar: Membangun Kota Ramah Lansia bertemakan “Memberdayakan Komunitas untuk Masa Depan yang Lebih Baik” pada Kamis (16/5). Dalam menyelenggarakan acara yang diadakan secara hybrid ini, Departemen PSdK juga bekerja sama dengan School of Graduate Studies Lingnan University, ERAT, Bappeda Kota Yogyakarta, serta Universitas Gunung Kidul.
Hadir dalam seminar ini yaitu Emily Wong, Manager of the School of Graduate Studies & Institute of Policy Studies, Lingnan University, yang membagi pengalamannya dalam memberdayakan komunitas melalui Kota Ramah Usia atau Age-Friendly City (AFC) yang diimplementasikan di Hong Kong. “Konsep AFC, yang pertama kali diperkenalkan oleh World Health Organization (WHO), mendorong kesehatan, partisipasi, dan keamanan untuk para lansia dan menekankan pada keaktifan dan keterlibatan dalam berbagai aspek kehidupan bahkan ketika sudah memasuki usia lanjut,” jelas Emily.
Sejalan dengan penjelasan Emily, Agus Salim, Kepala Bidang Pemerintahan dan Pembangunan Manusia, Bappeda Kota Yogyakarta, juga mengatakan bahwa kesehatan dan keaktifan lansia perlu dipertahankan dan menjadi perhatian pemerintah. Kota Yogyakarta sendiri memiliki Layanan Lansia Terintegrasi (LLT) yang berfungsi untuk menghubungkan kebutuhan layanan lansia dengan penyedia layanan. Layanan yang disediakan meliputi aspek kesehatan, sosial, dan ekonomi.
“Meskipun demikian, masih terdapat persoalan mengenai keterjangkauan. Belum seluruh segmen bisa tercakup dalam layanan ini. Misalnya, ada lansia yang hidup sendiri tidak tahu tentang layanan ini sehingga tidak bisa mengakses”, tukas Agus.
Lebih lanjut, Agus juga menekankan pentingnya intervensi yang lebih komprehensif dan menyeluruh. “Saat ini, intervensi yang dilakukan masih bersifat sektoral. Bappenas sendiri tengah menyusun framework untuk memayungi perihal peningkatan kesejahteraan lansia yang menghubungkan antar kementerian supaya intervensi lebih komprehensif,” ucapnya.
Tak hanya dari pemerintah, inisiasi untuk mensejahterakan lansia juga datang dari lembaga filantropi Rumah Zakat melalui Program Desa Ramah Lansia. Desa Ramah Lansia merupakan desa yang mewadahi lansia untuk mendapatkan lingkungan sosial dan fisik yang mendukung kebutuhan lansia agar tetap sehat, aktif, dan produktif. “Goal besar kami adalah menjadikan lansia yang pada awalnya membutuhkan bantuan menjadi mandiri, yang pada awalnya merupakan sebuah ‘problem’ menjadi kompeten,”, ungkap Muhammad Sobirin, Chief Program Officer Rumah Zakat. Dengan semangat tersebut, para relawan program menjadi fasilitator untuk mengintervensi kehidupan lansia dalam 7 dimensi; intelektual; fisik; profesional; lingkungan; sosial-masyarakat; emosional; dan spiritual.