Yogyakarta, 11 September 2024—Laos terpilih sebagai Ketua ASEAN 2024 setelah sebelumnya jabatan tersebut diberikan pada Indonesia. Selama Indonesia menjabat, ASEAN telah banyak mengalami perkembangan sektor ekonomi, politik-keamanan, dan sosial-budaya. Saat ini, ASEAN mengalami pergeseran arah kebijakan dari state-oriented menjadi people-oriented. Hal ini menimbulkan polemik peran ASEAN sebagai organisasi regional serta hubungannya dengan urusan negara anggotanya.
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (Fisipol) UGM bersama ASEAN Studies Center menggelar diskusi guna membahas arah kebijakan organisasi dalam tema “Penguatan Piagam ASEAN: Tinjauan Mekanisme Regional dan Rekomendasi Kebijakan” pada Rabu (11/9). Diskusi ini menghadirkan tiga panelis dari Kementerian Luar Negeri Republik Indonesia, pakar politik dan hubungan internasional UGM, serta Centre for Strategic and International Studies (CSIS).
“Dunia sekarang memiliki kebutuhan yang berbeda dibanding dulu, maka harus kita sesuaikan. ASEAN ini membutuhkan perubahan sistem organisasi untuk memimpin kemajuan negara anggotanya,” ucap Vahs Nabyl A. Mulachel, S.IP., MA selaku Kepala Pusat Kebijakan Strategis untuk Asia Pasifik dan Wilayah Afrika, Kementerian Luar Negeri Republik Indonesia. ASEAN menjadi salah satu dari tiga fokus utama dalam agenda kebijakan yang dicanangkan oleh Kemenlu RI tahun ini.
Latar belakang dari urgensi peninjauan kembali Piagam ASEAN ini adalah kemunculan isu-isu politik negara anggota ASEAN yang turut memengaruhi stabilitas politik regional. Seperti saat ini, Myanmar tengah menghadapi gejolak politik yang disebabkan perang saudara antara junta militer dan gerakan sipil. Ribuan warga sipil kehilangan nyawa dan ratusan ditemukan terluka parah akibat serangan militer bersenjata. Dalam hal ini, prinsip non-intervensi ASEAN disorot karena tidak mampu mengatasi krisis di negara anggotanya sendiri.
Chilman Arisman, Diplomat dari Direktorat Umum ASEAN, Kemenlu RI menjelaskan, relevansi Piagam ASEAN tengah mengalami tantangan setelah dibentuk bertahun-tahun silam. “Piagam ASEAN bertujuan agar organisasi memiliki landasan hukum yang pasti, aturan yang jelas, dan efektivitas struktur organisasi. Sedangkan saat ini kita melihat tantangan yang dihadapi akibat perubahan kondisi politik dan ekonomi negara-negara ASEAN,” ucapnya.
Chilman menyebutkan setidaknya ada lima hal yang menjadi tantangan implementasi Piagam ASEAN. Adanya perbedaan sistem politik dan tujuan negara, tingkat perekonomian yang berbeda, kurangnya penanganan masalah, keterbatasan peran organisasi ASEAN, dan pengaruh eksternal. Peran ASEAN maupun implementasi Piagam ASEAN ini selama bertahun-tahun ternyata tidak sepenuhnya menjadi komitmen seluruh anggota. Sifat kebijakan terbatas dalam prinsip non-interference menyebabkan negara anggota bahkan mengabaikan kebijakan ASEAN.
“Indonesia selama menjadi Ketua ASEAN di 2023 berusaha membangun kembali kepercayaan negara-negara dan mengembalikan komitmen bersama melalui KTT ke-43 ASEAN di Bali lalu. Kita butuh untuk melakukan kontekstualisasi kembali beradasrkan perubahan dinamika politik yang ada,” jelas Chilman.
Sepakat dengan pendapat Chilman, Dr. Lina Alexandra, perwakilan CSIS menegaskan pentingnya keberlanjutan organisasi ASEAN. “Misi kita adalah mempertahankan, menjaga agar ASEAN tetap hidup dan berkembang. Kemudian yang lebih penting adalah menjadikan ASEAN relevan dan kredibel sebagai organisasi regional,” tegasnya. Lina membagi tantangan Piagam ASEAN ke dalam dua permasalahan, yakni internal regional dan eksternal. Ia menyebutkan konflik Myanmar hanyalah salah satu masalah yang tidak mampu diselesaikan Piagam ASEAN saat ini.
Piagam ASEAN yang dimiliki saat ini sudah berusia 17 tahun dan belum ada peninjauan sama sekali. Padahal idealnya, suatu perjanjian secara hukum ditinjau dalam lima tahun sekali, artinya seharusnya Piagam ASEAN sudah mengalami peninjauan tiga kali sejak pertama kali disepakati. Masalah ini bukan tanggung jawab beberapa negara saja, melainkan seluruh anggota negara ASEAN.
“Piagam ASEAN bukan dokumen yang hanya diletakkan di lemari, tapi merupakan panduan yang menentukan arah kebijakan. Juga sebagai komitmen bersama dalam menghadapi tantangan global,” tutur Lina. Diskusi peninjauan Piagam ASEAN oleh Fisipol UGM dan Pusat Studi ASEAN UGM ini diharapkan mampu menjadi langkah pertama bagi pemerintah negara anggota ASEAN untuk meninjau ulang perjanjian tersebut. Selain itu, penguatan komitmen ini dapat membantu mewujudkan perdamaian, keadilan, dan kelembagaan yang tangguh yang merupakan salah satu poin Sustainable Development Goals ke-16. (/tsy)