Bulaksumur Roundtable Forum: Tiga Pasangan Calon Bupati Kulon Progo Adu Gagasan untuk Pembangunan

Yogyakarta, 29 Oktober 2024─Bulaksumur Roundtable Forum (BRF) kembali digelar yang dalam kesempatan kali ini mengambil tajuk “Sustainability Through Local Election: Bedah Visi-Misi Calon Bupati/Wali Kota se-DIY bersama Kandidat, Akademisi, & Masyarakat Sipil”. BRF The Clinics sesi dua hari pada Selasa (29/10) yang digelar di Auditorium Fisipol UGM bertujuan untuk menciptakan forum interaktif yang egaliter dengan mempertemukan kandidat kepala daerah di Kulon Progo, akademisi, dan masyarakat sipil untuk mengeksplorasi pemikiran paslon sekaligus permasalahan di Kulon Progo.

Berdasarkan data dari LPPD, masih banyak permasalahan yang masih dihadapi oleh Kabupaten Kulon Progo, seperti masih tingginya angka kemiskinan (BPS: 0,402 indeks gini), rendahnya SDM (IPM 75,82 data BPS), nihilnya regulasi dan infrastruktur tata ruang wilayah, dan rumitnya tata kelola pelayanan publik berbasis teknologi informasi, terdapat konflik antar kelompok. 

Menanggapi permasalahan tersebut, Dr. R. Agung Setyawan S.T., M.Sc., MM., menekankan pentingnya Indeks Pembangunan Manusia. Menurutnya pembangunan apapun berawal dari manusia sebagai subjek pembangunan sehingga penting adanya standarisasi pendidikan formal yang diikuti dengan spiritualitas dan budaya lokal bagi masyarakat Kulon Progo. Selain itu, ia juga berencana untuk mengoptimalisasi pariwisata, UMKM, pertanian, dan retribusi daerah sebagai solusi pengentasan kemiskinan

  1. Marija, S.T., M.M., M.T., juga memberikan perhatian besar terhadap kualitas pembangunan manusia. Menurutnya, kondisi masyarakat Kulon Progo masih kalah bersaing khususnya di pasar tenaga kerja sehingga penting untuk membangun masyarakat yang berkualitas kedepannya. Ia juga menekankan urgensi untuk meningkatkan PAD dan APBD khususnya melalui pariwisata dan peningkatan infrastruktur.
  2. Novida Kartika Hadhi, S.T., memiliki visi besar untuk menghilangkan dikotomi dan disparitas pembangunan antara Kulon Progo sisi utara dan sisi selatan. Ia juga menekankan pentingnya pemberdayaan perempuan untuk berpartisipasi di pembangunan mengingat profil demografi Kulon Progo yang mayoritas perempuan. Untuk itu, ia berencana membuka investasi khususnya di sektor pariwisata dan manufaktur yang disertai dengan pembangunan ekonomi kewilayahan melalui pertanian modern. Dalam perencanaan pembangunannya, Novida nantinya akan menekankan partisipasi dari akar rumput khususnya pelibatan kalurahan secara optimal untuk melaksanakan pembangunan.

Selanjutnya, dalam konteks pembangunan, investasi menjadi salah satu cara yang efektif untuk mencapai pembangunan daerah yang signifikan. Namun, investasi juga membawa risiko apabila dibiarkan secara liar. 

Menanggapi hal tersebut, paslon nomor satu mempercayai bahwa investasi harus memperhatikan kultur budaya setempat dan tidak boleh mengesampingkan masyarakat lokal. “Perubahan yang terjadi terkadang membuat masyarakat shock sehingga peralihan masyarakat dari rural ke urban harus diikuti dengan kulturnya, tidak hanya ada pemasukan dari investasi saja,” kata Agung. 

Disisi lain, paslon nomor dua melihat bahwa investasi harus dibarengi dengan regulasi dan keberpihakan dengan masyarakat. “Investor yang kita butuhkan bukan investor yang padat mesin, tetapi investor yang dapat membuka lapangan pekerjaan,” ungkap Marija.

Menanggapi investasi, Novida ingin menciptakan investasi yang berpihak pada masyarakat melalui pemberdayaan masyarakat. Disini pemerintah hadir untuk membentuk regulasi ramah investor, tetapi turut mendorong pemberdayaan masyarakat sehingga tercipta pembangunan yang serasi antara kekuatan investasi dan kekuatan lokal. “Ramah investasi tentunya tidak hanya kepada investor, tetapi juga untuk masyarakat juga,” ujar Novida. 

Suci Lestari Yuana, S.I.P., M.I.A., Dosen Departemen Hubungan Internasional menanggapi paparan ketiga pasangan calon. Ia menyoroti isu lingkungan yang masih belum selesai di Yogyakarta, padahal isu lingkungan khususnya perihal sampah menjadi isu yang besar. “Jangan-jangan selama ini sampah itu hanya ada di belakang kepala kita, tidak pernah jadi program konkret, hanya menjadi depolitisasi tidak menjadi isu politik,” ungkap Suci.

Suci juga menyoroti kecakapan kemampuan pemanfaatan dan inovasi teknologi di birokrasi. Sebab, menurutnya birokrasi saat ini sudah banyak memanfaatkan teknologi, tetapi belum efisien.