Yogyakarta, 15 November 2024—Departemen Sosiologi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (Fisipol) UGM bersama Asosiasi Program Studi Sosiologi Indonesia (APSSI) menggelar Lokakarya Nasional (Loknas) pada Kamis (14/11). Lokakarya ini mengundang akademisi dari program studi sosiologi di seluruh universitas Indonesia untuk mendiskusikan rancangan pengembangan akademik dalam menghadapi tantangan global.
Mengangkat tema “Reimagining Sociology in the Digital Age: Advancing Justice and Inclusion in a Disruptive World”, Loknas berfokus merumuskan kurikulum responsif terhadap perubahan masa mendatang. Disampaikan oleh Dekan Fisipol UGM, Wawan Mas’udi, S.IP., MPA, Ph.D. penting bagi sektor akademik untuk mengelaborasi lebih lanjut isu global agar mampu menjawab masalah sosial masyarakat. “Keilmuan sosial politik ini sedang menghadapi banyak sekali tantangan. Bagaimana isu tersebut berimplikasi pada masyarakat dan tata kuasa. Saya kira ini penting untuk kita diskusikan,” paparnya.
Wawan mencontohkan isu digitalisasi yang ditujukan untuk memberikan peluang dan kesetaraan bagi masyarakat, namun justru menciptakan jurang kesenjangan baru. Ada isu relasi kuasa antar masyarakat dengan elite. Harapannya, akademisi mampu mengembangkan kurikulum yang inklusif sekaligus berdinamika dengan perkembangan teknologi.
“Bagaimana kita bisa menjawab tantangan dengan merefleksikan dan kembali ke akar. Kami berharap lokakarya teman-teman APSSI bisa menghasilkan kesepakatan aspek substansi apa yang harus hadir di semua kurikulum prodi sosiologi,” tambah Wawan. Ia berharap agar muncul inovasi satu program kurikulum yang secara khusus bisa dikelola bersama secara konsorsium dengan pola pikir yang serupa.
Sosiologi memegang peran penting dalam memahami konteks keberagaman dan inklusivitas dalam segala isu. Loknas memberikan kesempatan dan wadah aspirasi bagi para akademisi sosiologi untuk turut andil menjawab pertanyaan masa depan dengan mengedepankan kedua aspek tersebut. Ketua Association for Indonesia’s Sociology of Religion (AISOR), komunitas yang mewadahi minat kajian sosiologi agama di Indonesia menjelaskan pentingnya sosiolog mengakomodasi pembangunan nasional.
“Ini rangkaian yang kita harapkan bisa menjadi pengembangan kurikulum sosiologi ke depan untuk menjawab tantangan. Masyarakat kita sudah sangat aktif berdigitalisasi. Tapi apakah berarti mereka siap?” ujarnya. Diskusi ini pada akhirnya akan menjawab pertanyaan tersebut, sekaligus merumuskan solusi terhadap kesiapan masyarakat menghadapi digitalisasi yang terus berkembang.
Sejalan dengan itu, Wakil Rektor Bidang Kemahasiswaan, Pengabdian kepada Masyarakat, dan Alumni, Dr. Arie Sujito, S.Sos., M.Si. juga menimpali dengan urgensi kolaborasi peran akademisi. Menurutnya, antar kampus seharusnya tidak perlu bersaing, melainkan berkolaborasi. Forum seperti APSSI dimaksudkan agar sektor akademik mampu berproses bersama dan menjawab tantangan global. Ia juga menyoroti bagaimana isu-isu saat ini banyak dipengaruhi akibat degradasi demokrasi.
“Kita tahu demokrasi kita sedang mengalami degradasi. Kami tahu persis bertarung berkontestasi itu terkadang tidak mudah. Kurikulum memang baik di kelas, namun apa manfaatnya bagi lingkungan? Kita tidak bisa diam melihat sekitar kita tidak baik-baik saja,” pungkas Arie.
Gelaran Lokakarya Nasional diselenggarakan bersamaan dengan dua forum lainnya, yakni Konferensi Dua Tahunan oleh Association for Indonesia’s Sociology of Religion (AISOR) dan Temu Sosiolog bertema Sowan dan Ngisis Sosiologi. Selain mewadahi sesi diskusi dan berbagi pengetahuan, ajang ini menjadi tempat bagi akademisi untuk membangun koneksi dan merintis kolaborasi antar sosiolog hingga disiplin ilmu lainnya. Kolaborasi juga ditujukan sebagai bentuk kontribusi Fisipol UGM dalam membangun Sustainable Development Goals (SDGs) ke-17 yakni Kemitraan Mencapai Tujuan. (/tsy)